Tidak Hanya ‘Tebar Garam’, Peneliti IPB University Jelaskan Ragam Teknologi Modifikasi Cuaca, Apa Saja?

Tidak Hanya ‘Tebar Garam’, Peneliti IPB University Jelaskan Ragam Teknologi Modifikasi Cuaca, Apa Saja?
Ancaman bencana masih membayangi berbagai daerah di Indonesia. Di tengah perubahan iklim yang semakin nyata, teknologi modifikasi cuaca (TMC) hadir sebagai harapan baru dalam mitigasi bencana.
TMC kini semakin berkembang menjadi solusi untuk mengendalikan intensitas hujan, baik untuk meredam potensi bencana maupun mengoptimalkan pengelolaan sumber daya air.
Sekretaris Pusat Pengelolaan Peluang dan Risiko Iklim Kawasan Asia Tenggara dan Pasifik (CCROM-SEAP) IPB University, Dr I Putu Santikayasa, menjelaskan bahwa TMC merupakan teknik yang digunakan untuk mengubah atau memodifikasi kondisi cuaca tanpa mengubah iklim secara permanen.
“Teknik modifikasi cuaca hanya berdampak sesaat karena yang dimodifikasi adalah cuaca, bukan iklim,” kata dosen Departemen Geofisika dan Meteorologi IPB University ini.
Salah satu metode yang paling umum digunakan dalam TMC adalah penyemaian awan (cloud seeding). Teknik ini memanfaatkan garam untuk mempercepat proses kondensasi dalam awan agar hujan turun lebih cepat.
“Manfaat percepatan hujan ini bervariasi tergantung kondisi. Pada musim kemarau, cloud seeding dapat membantu sektor pertanian dan pengelolaan sumber daya air dengan menyediakan curah hujan tambahan.
Sebaliknya, lanjut Dr Putu, pada musim hujan, teknik ini bisa digunakan untuk mengalihkan hujan dari daerah rawan banjir ke lokasi lain yang lebih aman.
Selain cloud seeding, terdapat metode lain seperti cloud breaking. Metode ini berfungsi untuk menghambat proses kondensasi dan mengurangi intensitas hujan.
“Cloud breaking bekerja dengan cara mengganggu proses pembentukan awan (pengkerdilan awan) sehingga jumlah uap air yang mengalami kondensasi berkurang,” jelasnya.
Namun, Dr Putu mengingatkan bahwa modifikasi cuaca tetap harus mempertimbangkan kondisi stabilitas dan status uap air di atmosfer
Selain itu, penggunaan bahan tertentu seperti perak iodida (AgI) dalam cloud seeding masih menuai pro dan kontra terkait dampak lingkungan.
“Beberapa penelitian menyebutkan bahwa AgI berpotensi menghambat pertumbuhan organisme akuatik dan mengganggu siklus nutrisi di ekosistem air tawar,” ucapnya.
Seiring perkembangan teknologi, berbagai inovasi telah diterapkan dalam modifikasi cuaca. Penggunaan laser untuk merangsang pembentukan awan serta pemanfaatan drone untuk menyebarkan bahan semai mulai diteliti guna meningkatkan efektivitas TMC.
Teknik flare, yang menghasilkan gas guna meningkatkan kelembapan udara, juga masih dalam kajian untuk meminimalkan dampak lingkungan.
“Salah satu pendekatan baru yang sedang dikembangkan adalah penggunaan bahan organik sebagai alternatif garam sehingga lebih ramah lingkungan,” tambahnya.
Meski modifikasi cuaca tidak berdampak permanen, dampak jangka panjangnya pada lingkungan tetap perlu diperhatikan, terutama jika dilakukan secara rutin di lokasi yang sama.
Untuk memastikan implementasi yang bertanggung jawab, diperlukan pemantauan dan penelitian berkelanjutan.
“Regulasi ketat harus diterapkan agar teknologi ini tidak menimbulkan dampak negatif yang tidak diinginkan. Pendekatan berbasis data dengan bantuan teknologi serta analisis yang tepat dapat meminimalkan risiko dari TMC sehingga masyarakat dapat merasakan manfaatnya secara maksimal tanpa merugikan lingkungan,” ucap Dr Putu. (dr)
Profil Dr. I Putu Santikayasa, S.Si., M.Sc.
Dr. I Putu Santikayasa, S.Si., M.Sc., adalah akademisi dan peneliti di bidang klimatologi terapan dan pengelolaan sumber daya air yang saat ini menjabat sebagai Sekretaris Pusat Studi CCROM-IPB serta Ketua Program Studi Pascasarjana Klimatologi Terapan di IPB University. Lahir di Bali pada 24 Februari 1979, Dr. Putu menyelesaikan pendidikan Sarjana dan Magister di IPB serta meraih gelar Doktor dari Asian Institute of Technology (AIT), Thailand.
Keahliannya meliputi pemodelan hidrologi, analisis perubahan iklim, serta pengelolaan air pertanian berbasis keberlanjutan. Dr. Putu aktif dalam penelitian dan publikasi ilmiah, dengan berbagai kajian terkait dampak perubahan iklim terhadap sumber daya air dan ketahanan pangan. Selain itu, ia juga memiliki pengalaman sebagai konsultan di berbagai proyek nasional dan internasional, termasuk UNESCO dan Plan International Indonesia, dalam pengelolaan risiko bencana dan adaptasi iklim.