Tahun 2045 Indonesia Alami Krisis Air Bersih? Pakar IPB University Ingatkan Hal Ini di Hari Bumi

Tahun 2045 Indonesia Alami Krisis Air Bersih? Pakar IPB University Ingatkan Hal Ini di Hari Bumi

Tahun 2045 Indonesia Alami Krisis Air Bersih Pakar IPB University Ingatkan Hal Ini di Hari Bumi
Riset

Sebagai negara kepulauan dengan populasi yang terus bertambah, Indonesia menghadapi tantangan serius dalam penyediaan air bersih. Hari Bumi yang diperingati setiap tanggal 22 April menjadi momentum penting untuk lebih peduli terhadap kelestarian bumi, termasuk menjaga ketersediaan air bersih yang kian terancam.

Menurut laporan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) tahun 2020, beberapa wilayah di Indonesia akan mengalami kelangkaan atau krisis air bersih pada 2045. Proporsi luas wilayah krisis air juga diprediksi akan meningkat dari 6 persen pada 2000 menjadi 9,6 persen pada 2045.

Menanggapi hal itu, Guru Besar IPB University, Prof Etty Riani mengatakan, perubahan iklim yang ekstrem, urbanisasi yang pesat, pengelolaan lingkungan yang kurang tepat dan pengelolaan sumber daya air yang kurang optimal akan membawa negara ini ada dalam krisis air bersih.

“Salah faktor penyebab terjadinya krisis air bersih adalah adanya alih fungsi lahan di wilayah hulu dan hilir dari hutan, rawa, situ atau danau menjadi lahan terbangun. Bahkan, di wilayah pesisir pun cukup banyak terjadi alih fungsi lahan dari ekosistem mangrove dan ekosistem padang lamun menjadi lahan terbangun dengan cara direklamasi” jelasnya.

Selain itu, lanjutnya, di sepanjang daerah aliran sungai (DAS) alih fungsi lahan juga terjadi. Di wilayah perkotaan, sempadan sungai dialihfungsikan menjadi wilayah terbangun. Ia menegaskan, adanya alih fungsi lahan ini pada umumnya mengakibatkan air tidak bisa lagi masuk ke dalam tanah tapi akan run off masuk ke sungai dan selanjutnya bermuara ke laut

“Ketika sungai meluap, semestinya luapan air itu masuk ke sempadan sungai. Namun, karena sempadan sungai sudah menjadi bangunan, maka air akan melimpas langsung ke daratan dan menyebabkan bencana banjir,” tuturnya.

Di saat bersamaan, pendangkalan dan penyempitan sungai karena sedimentasi, karena banyaknya sampah juga mengurangi daya tampung sungai. Akibatnya, sungai dengan mudah meluap dan banjir.

Lebih lanjut ia menuturkan, sedimentasi terjadi karena pembukaan lahan. Selama lahan terbuka, jika ada hujan maka akan terjadi erosi yang mengakibatkan pendangkalan sungai hingga ke muara, serta juga mengakibatkan terjadinya pencemaran.

“Dengan alih fungsi lahan yang sangat masif ditambah dengan sedimentasi di sungai, maka bencana banjir tidak bisa lagi dihindari,” ungkapnya.

Prof Etty menambahkan, kondisi ini diperburuk dengan adanya perubahan iklim yang mempengaruhi frekuensi hujan. Menurut beberapa teori, peningkatan curah hujan bulanan akibat perubahan iklim bisa mencapai hingga 40 persen.

Perubahan iklim, sebut dia, juga menyebabkan fenomena La Nina yang normalnya terjadi 2-7 tahun sekali, bisa terjadi lebih cepat.

Untuk itu, ia menyarankan beberapa hal yang perlu dilakukan. Pertama, dengan meningkatkan kesadaran masyarakat secara kontinyu. Bukan sekadar ‘proyek’, tetapi upaya ini mesti berujung pada terciptanya budaya hemat air dan hemat energi di masyarakat.

Kedua, meningkatkan teknologi untuk pengelolaan air agar bisa dimanfaatkan kembali. Ketiga, pemanfaatan sumber air seperti waduk atau embung dan situ.

“Kemudian, buat hutan kota untuk penyerapan air. Hutankan kembali hutan yang rusak dan upayakan menanam di mana pun, kapan pun, dan oleh siapa pun. Minimalkan perubahan iklim dengan meminimalkan gas rumah kaca (GRK), misalnya dengan membiasakan jalan kaki, mengurangi penggunaan kendaraan bermotor, harus hemat energi dan menghindari hal-hal yang tidak perlu, seperti penggunaan AC kalau tidak perlu, harus dimatikan, penggunaan energi hijau, dan lainnya,” tutupnya. (AS)