Memperingati Hari Kuantum Dunia: Organisme Hidup dan Keterbelitan Kuantum

Memperingati Hari Kuantum Dunia: Organisme Hidup dan Keterbelitan Kuantum

Artikel

Tanggal 14 April 2025, dunia memperingati Hari Kuantum Sedunia (World Quantum Day). Ditetapkannya tahun 2025 sebagai tahun kuantum internasional juga didasari atas fakta sejarah diusulkannya model mekanika matriks untuk pertama kali oleh fisikawan teoretis Jerman, Werner Heisenberg, yang kemudian menjadi salah satu pilar utama mekanika kuantum yang dikenal orang sekarang. Sementara pemilihan tanggal 14 April mengacu pada angka konstanta Planck (h) dalam satuan energi electron-Volt (eV) sebesar 4.14×10-15 eVs. 

Dalam satu abad belakangan ini, pemahaman fisika berdasarkan teori kuantum terhadap fenomena di skala mikroskopik, mulai dari ukuran (sub-) atomik hingga molekular, telah menghasilkan berbagai macam aplikasi teknologi canggih yang orang dapat manfaatkan saat ini. Telepon genggam cerdas atau smartphone merupakan bukti nyata sumbangsih fisika, khususnya fisika kuantum tersebut.

Ada banyak fenomena di skala mikroskopik tersebut yang bagi pengalaman sehari-hari merupakan sesuatu hal yang bersifat kontraintuitif atau dengan kata lain tidak bisa dipahami hakikatnya. Fenomena ketidakpastian Heisenberg yang menyatakan bahwa seorang pengamat tidak dapat secara bersamaan mengukur secara pasti posisi dan kecepatan sebuah partikel, seperti elektron misalnya, secara bersamaan merupakan contoh pertama keanehan di dunia kuantum. 

Dalam pengalaman sehari-hari, jika kita mengetahui dengan pasti posisi dari sebuah bola misalnya, maka dengan mengetahui kondisi eksternal yang memengaruhinya saat ia ditendang, secara fisika selain mengetahui dengan pasti kondisinya, dapat pula ditentukan dengan pasti ke mana bola tersebut akan mengarah. Hal ini tidak berlaku bagi partikel renik semisal elektron. Ke mana elektron akan mengarah tidak dapat secara pasti diketahui, dan hanya peluang ke mana ia pergi yang dapat diprediksi.

Fenomena kontraintutif lainnya adalah terkait hasil pengukuran. Dua partikel renik yang identik satu sama lain dan berada pada pengaruh lingkungan yang sama ketika dilakukan pengukuran atas kondisi masing-masing dapat memberikan hasil yang berbeda. Bahkan pengukuran berulang kondisi sebuah partikel yang berada pada pengaruh lingkungan yang sama pun dapat berbeda. 

Fenomena ini memaksa para fisikawan teoretis untuk memformulasikan prinsip superposisi keadaan kuantum yang menyatakan bahwa sebelum dilakukan pengukuran, sebuah partikel renik dapat berada di beberapa kondisi sekaligus dan ketika dilakukan pengukuran ia akan berada pada salah satu kondisi tersebut. 

Fenomena superposisi keadaan kuantum tersebut berupa penjumlahan semua keadaan atau kondisi yang mungkin tersebut pada gilirannya memunculkan pertanyaan mengenai realita di dunia kuantum yang hingga saat ini masih menjadi misteri. Apakah elektron ada sebelum dan sesudah dilakukan pengamatan? Ini merupakan pertanyaan fundamental yang tidak mudah untuk dijawab.  

Fenomena kontraintuitif lainnya yang bahkan sangat jauh dari nalar orang sehari-hari dan tampak sekilas melanggar prinsip-prinsip tertentu di dalam fisika adalah fenomena keterbelitan kuantum (quantum entanglement). Partikel renik seperti elektron maupun atom, memiliki sebuah sifat yang orang tidak dapat pahami menggunakan konsep yang dikenal di skala makroskopik. Sifat tersebut lazim dikenal sebagai spin yang dapat berada pada kondisi spin ke atas dan spin ke bawah untuk partikel renik seperti elektron. 

Secara umum, spin partikel merujuk pada fenomena makroskopik yang biasa dijumpai pada benda yang berotasi. Tetapi, mengingat ukuran, misalnya elektron yang sangat kecil, dan menilik hasil pengamatan yang dilakukan, maka mustahil untuk mengatakan bahwa elektron mengalami rotasi. Hal ini orang dipaksa begitu saja menerima fakta adanya sifat spin tanpa memahami entah apa sebenarnya. 

Pada fenomena keterbelitan kuantum, diperlihatkan bahwa dua elektron atau atom identik yang berbeda posisi amat jauh, dapat terkorelasi satu sama lain dalam waktu yang bersamaan secara simultan. Misalkan elektron A diukur memiliki spin ke atas, maka dapat dipastikan kembarannya elektron B yang terpisah amat jauh berada pada keadaan spin ke bawah. 

Fenomena ini memunculkan kebingungan yang luar biasa mengenai bagaimana keduanya berkomunikasi satu sama lain. Berbagai spekulasi untuk menjelaskannya diberikan para fisikawan teoretis, di antaranya dengan menduga bahwa kedua elektron terhubung melalui lubang cacing (wormhole) satu sama lain. Sebuah spekulasi yang tampaknya sulit untuk dibuktikan secara pengamatan. Meskipun demikian, fenomena keterbelitan kuantum ini telah memungkinkan lahirnya teknologi-teknologi yang pemanfaatannya dapat berupa teknologi kriptografi kuantum dan sebagai elemen dasar pada sistem kuantum informasi dan kuantum komputasi. Teknologi-teknologi kuantum tersebut merupakan kunci utama dalam penguasaan masa depan.

Baru-baru ini, dalam sebuah rilis pada laman Pusat Penelitian Fisika Partikel Elementer Eropa atau CERN di Jenewa, Swiss (https://home.cern/news/news/physics/cern-scientists-find-evidence-quantum-entanglement-sheep) terungkap bahwa kawanan kambing yang menunjukkan gejala dinamika kolektif berupa gejala flocking, ditengarai terjadi karena terjadinya keterbelitan kuantum di antara mereka dan bertanggungjawab atas kemunculan fenomena tersebut. 

Jika kesimpulan sementara dari pengamatan ini benar, patut diduga bahwa keterbelitan kuantum sejatinya tidak hanya dialami oleh kawanan kambing saja, tapi juga oleh organisme hidup lainnya, seperti burung, ikan atau bakteri, atau bahkan antar manusia.

Fenomena keterbelitan kuantum antar organisme hidup tentunya akan menjadi fakta yang amat penting untuk direnungkan, selain tentunya dimanfaatkan. Bahwa sejatinya setiap organisme hidup terkorelasi satu sama lain tentu memberikan implikasi yang mendalam pada cara orang memandang semua organisme hidup. Apakah pemanfaatannya melalui penerapan teknologi, yang entah apa bentuknya, akan mampu menjamin keberlanjutan kehidupan di muka bumi? Hanya waktu yang akan menjawabnya.

Oleh: Prof Husin Alatas

Guru Besar Fisika Teori IPB University

Departemen Fisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam