TNC IPB University Dukung Program MBG dan Kesejahteraan Ekonomi Petani

Tani dan Nelayan Center (TNC) IPB University menyelenggarakan Webinar Series #TNCTalksE08 bertajuk “Program Makan Bergizi dan Pemberdayaan Ekonomi Petani”.
Prof Hermanu Triwidodo, Kepala TNC IPB University menyampaikan webinar ini diadakan sebagai ruang pertemuan dan diskusi bersama terkait program MBG yang harus berjalan beriringan dengan pemberdayaan ekonomi petani.
“Program ini tidak hanya bertujuan meningkatkan akses masyarakat terhadap makan bergizi gratis, tetapi juga mendorong kesejahteraan petani melalui penguatan produksi dan distribusi hasil pertanian yang berkualitas,” ujar Prof Hermanu.
Lebih lanjut, Prof Hermanu juga menuturkan, program MBG tidak hanya sebatas pemberian makan gratis, tetapi juga dapat membangun kebersamaan dan tanggung jawab di kalangan pelajar.
Pada materinya, Kepala Badan Gizi Nasional (BGN), Dr Dadan Hindayana, menekankan bahwa MBG adalah langkah strategis menuju Indonesia Emas, dengan tujuan menghasilkan generasi berkualitas yang kompetitif di tingkat global.
Namun, ia juga mengingatkan bahwa program ini menggunakan anggaran yang besar, di mana 95 persen bahan bakunya berasal dari komoditas pertanian. Oleh karena itu, sekitar 80 persen anggaran yang digelontorkan untuk MBG harus digunakan untuk pembelian bahan baku pangan dari petani lokal.
Selain itu, Dr Dadan menjelaskan bahwa pihaknya juga berencana mempercepat pembentukan Unit Layanan Pemenuhan Gizi, yaitu Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) di seluruh Indonesia, dengan target mencapai 30.000 unit pada akhir tahun 2025.
“Program One Village, One Red and White Village Cooperative juga akan diluncurkan untuk mengoordinasikan bisnis pertanian lokal agar dapat memenuhi kebutuhan MBG secara berkelanjutan,” ujar Dr Dadan.
Dr Nicolaus Noywuli selaku Rektor Sekolah Tinggi Pertanian Flores Bajawa dalam presentasinya banyak membahas implementasi MBG di Nusa Tenggara Timur (NTT).
“Saat ini baru menyasar siswa sekolah di ibu kota yang dilayani oleh 17 SPPG dengan total penerima manfaat sebanyak 50.340 siswa atau sekitar 4 persen dari total sasaran,” ungkap Dr Nicolaus Noywuli.
“Namun, program ini menghadapi kendala terkait ketersediaan bahan baku serta beberapa protes dari siswa dan orang tua mengenai penyajian makanan yang kurang sesuai. Oleh karena itu, evaluasi berkala penting untuk menjamin keberlanjutan program dan keterlibatan petani lokal sebagai mitra utama,” lanjutnya.
Suparjiem, salah seorang petani dari Yogyakarta menyampaikan bahwa dirinya sangat menyambut baik program MBG ini karena memberikan peluang bagi petani sebagai pemasok bahan pangan.
Namun, ia mengingatkan perlunya pembenahan sistem di tingkat konsumen dan distribusi dengan evaluasi secara berkelanjutan. Di samping itu, petani perlu diberikan pendampingan oleh penyuluh pertanian atau pihak terkait untuk memastikan keterlibatan yang optimal.
“Perlu pembenahan regulasi yang sekiranya petani dapat menerima manfaat baik, tidak hanya sebagai penonton. Saya harap program ini dapat melibatkan kader-kader di tingkat desa atau kelompok tani dalam masa tanam jangka pendek maupun panjang,” ungkap Suparjiem.
Sependapat dengan Suparjiem, Maria Mone Soge, petani muda asal NTT menilai MBG sebagai langkah strategis pemerintah dalam mengatasi masalah gizi sekaligus mendorong pertumbuhan ekonomi lokal. Beberapa daerah di NTT bahkan telah mengintegrasikan program ini dengan teknologi digital untuk memetakan kebutuhan masyarakat, mengelola logistik, dan menghubungkan petani lokal dengan penyelenggara program.
Meski demikian, ia menyoroti bahwa implementasi MBG masih menghadapi tantangan besar, terutama dalam diversifikasi pangan. “Kami di NTT memiliki potensi pangan yang sangat beragam. Tidak seharusnya kita hanya berfokus pada satu jenis pangan, seperti beras. Pangan lokal seperti sorgum dan jagung juga bisa dimanfaatkan sebagai sumber karbohidrat alternatif, begitu pula dengan sumber protein lainnya,” ujar Maria.
Karena itu, Maria menekankan pentingnya membudidayakan pangan lokal yang organik dan beragam. Ia berharap anak muda dapat lebih dilibatkan dalam program ini, tidak hanya sebagai penyedia bahan pangan, tetapi juga sebagai aktor utama dalam sistem pangan lokal. (TNC/Rz)