Pakar IPB University: Banjir Tingkatkan Risiko Leptospirosis, Warga Diminta Waspada

Banjir yang melanda daerah rawan sering kali membawa dampak lebih luas, termasuk ancaman terhadap kesehatan masyarakat. Pakar IPB University, Dr Swastiko Priyambodo, mengingatkan bahwa banjir di wilayah rawan banjir dapat meningkatkan risiko penyakit leptospirosis.
Penyakit ini disebabkan oleh bakteri leptospira, yang tersebar melalui urine tikus dan dapat masuk ke tubuh manusia melalui luka atau selaput lendir.
“Kondisi ini semakin berbahaya karena gejalanya sering kali tidak spesifik dan bisa menyerupai penyakit lain, sehingga perlu kewaspadaan lebih tinggi dari masyarakat,” ucapnya.
Menurut Dr Swastiko, beberapa tikus di permukiman manusia yaitu tikus riul/got (Rattus norvegicus), tikus rumah (Rattus tanezumi) dan mencit rumah (Mus musculus) berkontribusi dalam penyebaran leptospirosis.
Selain itu, tikus riul/got (Rattus norvegicus) dan tikus sawah (Rattus argentiventer) di persawahan yang tergenang merupakan dua spesies utama yang memiliki kebiasaan bermain air, terutama di daerah yang sering tergenang.
“Saat banjir terjadi, urine tikus yang mengandung leptospira bercampur dengan air banjir dan meningkatkan risiko infeksi bagi manusia yang terpapar, terutama jika memiliki luka terbuka atau kontak langsung dengan air yang terkontaminasi,” ujarnya.
Sebagai Ahli Rodensia, Dr Swastiko menambahkan bahwa leptospirosis dapat berkembang menjadi kondisi serius jika tidak segera ditangani. Gejala awal yang muncul meliputi demam tinggi, menggigil, sakit kepala, nyeri otot, mual, muntah, serta mata merah.
“Dalam kasus yang lebih parah, infeksi ini dapat menyebabkan komplikasi pada ginjal, hati, atau sistem pernapasan, yang dapat berujung pada kematian. Masyarakat harus segera mencari perawatan medis jika mengalami gejala tersebut, terutama setelah terpapar air banjir,” tuturnya.
Pakar Vertebrata Hama IPB University ini juga menekankan pentingnya pengendalian populasi tikus sebagai langkah utama dalam mencegah penyebaran leptospirosis.
Lebih lanjut ia membeberkan, metode pengendalian ini harus dilakukan secara terpadu dengan lima strategi utama:
1. Sanitasi – Menjaga kebersihan lingkungan dengan memastikan tidak ada sumber makanan terbuka dan mengurangi tempat berkembang biak tikus.
2. Kultur teknis – Menerapkan praktik budi daya tanaman yang dapat menghambat perkembangbiakan tikus, terutama di sektor pertanian dan perkebunan.
3. Fisik mekanis – Menggunakan perangkap atau lem tikus, penghalang (barrier), dan pengusiran tikus untuk menangkap dan mengurangi populasi tikus di lingkungan permukiman.
4. Pengendalian hayati – Memanfaatkan predator alami seperti burung hantu di area pertanian untuk menekan populasi tikus secara alami.
5. Pengendalian kimia – Menggunakan racun tikus yang telah teruji dan sesuai standar keamanan.
Selain itu, ia mengimbau masyarakat untuk menggunakan pelindung diri saat beraktivitas di daerah terdampak banjir. Penggunaan sepatu bot, sarung tangan, dan pakaian tertutup sangat dianjurkan untuk menghindari kontak langsung dengan air yang berpotensi terkontaminasi bakteri leptospira.
“Setiap kasus yang ditemukan harus segera ditangani agar tidak berkembang menjadi wabah yang lebih luas. Langkah-langkah pengendalian harus dilakukan secara konsisten, termasuk pemantauan terhadap populasi tikus di daerah rawan banjir,” ungkapnya. (dr)