Kenapa Durasi Waktu Puasa Berbeda di Tiap Wilayah? Ini Penjelasan Guru Besar Fisika Teori IPB University

Kenapa Durasi Waktu Puasa Berbeda di Tiap Wilayah? Ini Penjelasan Guru Besar Fisika Teori IPB University

Kenapa Durasi Waktu Puasa Berbeda di Tiap Wilayah Ini Penjelasan Guru Besar Fisika Teori IPB University
Berita / Riset

Puasa adalah ibadah yang memiliki aturan waktu yang jelas, dimulai saat terbit fajar dan berakhir saat matahari terbenam. Namun, mengapa durasi puasa bisa berbeda di tiap wilayah, bahkan dalam satu negara sekalipun?

Berbeda dengan penentuan awal dan akhir Ramadan yang didasari pada pergerakan sinodik bulan dalam mengorbit bumi, waktu harian berpuasa ditentukan oleh pergerakan semu matahari yang dilihat oleh pengamat di bumi.

Guru Besar Fisika Teori IPB University, Prof Husin Alatas menjelaskan, perbedaan durasi puasa di setiap tempat disebabkan matahari terlihat terbit dan terbenam pada waktu yang berbeda. Hal ini terjadi karena bumi berputar dan bergerak mengelilingi matahari, sehingga lama siang dan malam bisa bervariasi di berbagai daerah.

Ia mengurai, pergerakan semu harian matahari dipengaruhi oleh gerak rotasi bumi dan juga gerak orbit bumi mengelilingi matahari. Akibat dari rotasi bumi, pengamat di bumi akan melihat silih bergantinya siang dan malam.

“Sementara itu, untuk gerak orbit bumi, karena poros rotasi bumi membentuk sudut 23,5 derajat terhadap bidang ekuatorial orbit, maka panjang hari di bulan-bulan yang berbeda dapat berbeda secara signifikan untuk wilayah-wilayah di bumi yang tidak berada tepat di garis khatulistiwa,” ucapnya.

Lebih lanjut, Prof Husin menjelaskan, untuk mengetahui pergerakan semu harian matahari, maka penentuan waktu subuh dilakukan melalui pengamatan terhadap kemunculan fenomena fajar. Fenomena ini terjadi saat sinar dari matahari yang masih berada di bawah horizon sudah direfleksikan oleh atmosfer bumi.

“Cahaya ini terlihat sebagai garis tipis berwarna kebiruan di horizon timur dan berangsur berubah menjadi kuning seiring dengan naiknya posisi matahari,” ungkapnya.

Prof Husin mengungkapkan, warna biru yang tampak saat fajar disebabkan oleh terjadinya peristiwa hamburan Rayleigh yang merefleksikan cahaya dengan panjang-gelombang pendek (berwarna biru) lebih banyak dengan sudut hamburan yang besar dibandingkan panjang-gelombang lain yang lebih panjang.

“Waktu subuh berakhir saat piringan matahari mulai terlihat di horizon timur, menandai terbitnya matahari,” tuturnya.

Perlu dicatat, tambah Prof Husin, fenomena penampakan cahaya juga terjadi sebelum fenomena fajar yang disebut sebagai fenomena fajar palsu (false dawn). Fenomena ini terjadi karena adanya refleksi sinar matahari akibat debu antarplanet yang berada di luar atmosfer bumi.

“Berbeda dengan fajar yang memiliki pola horizontal, fajar palsu memiliki bentuk menjulang vertikal ke atas dan relatif lebih samar ketimbang cahaya fajar,” ujarnya.

Sementara itu, waktu maghrib ditentukan dengan melakukan pengamatan hilangnya piringan matahari di horizon barat, menandai terbenamnya matahari.

Saat matahari terbenam dan berada di bawah horizon barat, tidak berarti sinarnya langsung menghilang karena terhalang bumi. Tetapi masih ada yang direfleksikan oleh atmosfer bumi.

“Saat sinar yang direfleksikan tersebut menghilang, maka berakhirlah waktu maghrib yang ditandai dengan hilangnya mega merah di langit,” urainya.

Panjang-gelombang merah yang tampak oleh pengamat saat matahari terbenam disebabkan karena panjang-gelombang panjang sedikit dihamburkan atmosfer bumi. “Sementara yang lebih pendek sudah terhambur terlebih dahulu melalui mekanisme hamburan Rayleigh, sehingga tidak terlihat oleh pengamat,” tutupnya. (dr)