Program Skrining Kesehatan Mental Gratis, Dosen IPB University: Masih Ada Tantangan yang Dihadapi

Pemerintah Indonesia telah meluncurkan program skrining kesehatan jiwa gratis. Menurut Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin, program ini bisa diakses oleh seluruh masyarakat Indonesia secara gratis.
Psikiater yang juga dosen Fakultas Kedokteran IPB University, dr Riati Sri Hartini, MSc, SpKJ mendukung adanya program ini. Menurutnya, program ini sangat membantu bagi orang-orang dengan keterbatasan akses terutama di sisi finansial.
“Saya senang dengan adanya program ini, karena kesehatan mental itu sangat penting. Walaupun seseorang terlihat sehat secara fisik, kalau ternyata dia mengalami gangguan mental, ini akan berpengaruh pada kualitas hidupnya,” ungkap dr Ria.
Terlebih, ia mengungkap, selama ini kesadaran masyarakat terhadap kesehatan mental belum terbuka seperti kondisi kesehatan lain. Banyak orang lebih memprioritaskan pemeriksaan yang lain. Dengan adanya pemeriksaan kesehatan mental gratis, ia berharap masyarakat akan lebih termotivasi lagi untuk melakukan skrining.
Di sisi lain, dr Ria melanjutkan, program ini juga memiliki tantangan tersendiri. Salah satunya stigma masyarakat yang masih me-labeling seseorang yang datang ke psikiater itu memiliki gangguan jiwa berat.
“Tantangannya masih terkait stigma. Walaupun dalam tanda kutip ini gratis, kembali lagi tetap membutuhkan kesadaran dari orang yang bersangkutan untuk hanya sekadar melakukan skrining,” ujarnya.
“Apabila labeling masyarakat masih negatif, hal itu akan menjadi tantangan tersendiri untuk merangkul orang-orang untuk melakukan pemeriksaan,” imbuh dosen Ilmu Kesehatan Jiwa tersebut.
Tantangan berikutnya, lanjut dr Ria antara lain keterbatasan sumber daya manusia (SDM). Ia menuturkan, saat ini SDM psikiater di Indonesia sendiri masih terbatas, terutama di daerah-daerah terpencil, sehingga akses terhadap layanan psikiatri menjadi tidak mudah.
“Terlebih lagi, di wilayah dengan kondisi geografis yang sulit, keterbatasan akses menjadi kendala utama dalam mendapatkan layanan kesehatan mental,” ucapnya.
Ia menyarankan program tersebut perlu melibatkan organisasi yang berkaitan dengan kesehatan mental. “Harapannya, profesional kesehatan jiwa dilibatkan baik psikiater maupun psikolog,” ungkapnya.
Bahkan, sebut dia, juga bisa melibatkan sosiolog agar dapat melihat manusia secara holistik dari sisi biologis, psikologis, sosial, budaya, termasuk di sisi spiritualnya juga perlu disentuh.
Ia juga berharap program ini tidak hanya berhenti pada skrining, tetapi berlanjut hingga tahap tata laksana yang mencakup pendekatan farmakologis maupun nonfarmakologis, seperti psikoterapi, bahkan hingga rehabilitasi. (Lp)