Komentari Isu Impor Gula, Pakar Kebijakan Ekonomi Pertanian IPB University: Pemerintah Tidak Konsisten

Komentari Isu Impor Gula, Pakar Kebijakan Ekonomi Pertanian IPB University: Pemerintah Tidak Konsisten

Komentari Isu Impor Gula, Pakar Kebijakan Ekonomi Pertanian IPB University Pemerintah Tidak Konsisten
Berita

Pemerintah memutuskan akan melakukan impor gula sebanyak 200.000 ton. Gula yang diimpor merupakan gula kristal mentah sebagai cadangan gula pemerintah. Hal ini diumumkan pemerintah (12/2) dalam rapat koordinasi di Kementerian Koordinator Bidang Pangan.

Hal ini tentu berbeda dan tidak konsisten dengan ambisi pemerintah untuk tidak mengimpor pangan, termasuk gula yang disampaikan oleh Menteri Koordinator (Menko) bidang Pangan pada 9 Desember 2024 lalu.

Dr Feryanto, Pakar Kebijakan Ekonomi Pertanian dan Agribisnis IPB University menyampaikan, kebijakan tersebut merupakan bentuk inkonsistensi pemerintah. Demikian ia sampaikan ketika dikontak oleh Humas IPB (18/2).

“Menurut saya, rencana pemerintah untuk melakukan impor gula merupakan bentuk inkonsistensi kebijakan pemerintah yang sebelumnya menyatakan tidak akan impor pangan, termasuk gula,” paparnya.

Ia melanjutkan, “Tapi nyatanya pemerintah meralat dan mengubah kebijakan tersebut untuk melakukan impor bahan pangan, dalam hal ini gula mentah (raw sugar) sebanyak 200.000 ton pada tahun 2025.”

Dr Fery beranggapan bahwa pemerintah seperti tidak memiliki perhitungan (forecasting) yang baik bagaimana kondisi produksi, konsumsi, dan cadangan pangan dalam hal ini gula. “Jika pemerintah memiliki data dan perhitungan yang baik, inkonsistensi kebijakan tersebut tidak perlu terjadi,” sebutnya.

Ia menambahkan bahwa para akademisi telah mengingatkan pemerintah tentang potensi gejolak kenaikan harga pangan, jika keputusan untuk tidak impor tidak disertai dengan manajemen stok yang baik. Artinya, Dr Fery menegaskan, keputusan untuk menghentikan impor semestinya sudah mempertimbangkan faktor-faktor tersebut sejak awal.

Namun nyatanya, harga gula menunjukkan tren kenaikan mulai akhir tahun 2024. Harga gula sejak September 2024 sampai pertengahan Februari 2025 di pasar tradisional rata-rata naik sebesar 3 persen. Kenaikan ini tentu akan terus berlanjut mengingat ramadan dan lebaran di depan mata, di mana harga gula relatif lebih tinggi dari kondisi normal.

Tren kenaikan harga tersebut menjadi pijakan kebijakan untuk mengimpor 200.000 ton gula mentah sebagai cadangan pemerintah yang nantinya diolah menjadi gula konsumsi.

Dr Feryanto menyebut, kebijakan ini dilakukan untuk menjaga dan meredam kenaikan harga gula yang dapat memicu inflasi lebih tinggi menjelang lebaran dan sepanjang 2025. “Jadi keputusan impor ini merupakan keputusan untuk solusi jangka pendek,” sebutnya.

Indonesia masih menjadi salah satu importir gula terbesar di dunia, dengan impor sekitar 5,6 juta ton gula pada periode 2023-2024. Ketergantungan ini menunjukkan bahwa produksi domestik belum mampu memenuhi kebutuhan industri dan konsumsi.

Diakui Dr Feryanto, jika mencermati data yang dikeluarkan oleh pemerintah, Indonesia memiliki kapasitas produksi gula yang belum mampu memenuhi seluruh kebutuhan nasional. Data dari Kementerian Pertanian menunjukkan bahwa pada tahun 2023, luas areal tebu mencapai 504.776 hektare dengan produksi gula sebesar 2.271.009 ton.

Sementara itu, konsumsi gula nasional terus meningkat seiring pertumbuhan penduduk dan industri makanan serta minuman. Dilansir goodstats.id, pada tahun 2023, konsumsi gula diperkirakan mencapai 3,402 juta ton, sehingga terdapat defisit sekitar 1,131 juta ton yang harus dipenuhi melalui impor.

Produksi gula konsumsi nasional pada 2025 yang ditargetkan sebesar 2,6 juta ton diperkirakan tidak mengalami gangguan. Bahkan, produksi gula konsumsi nasional pada 2024, yakni sebanyak 2,46 juta ton, lebih tinggi dibandingkan dengan 2023 yang mencapai 2,2 juta ton.

Meskipun ada peningkatan produksi, Dr Fery membeberkan bahwa industri gula domestik masih menghadapi berbagai tantangan, antara lain keterbatasan lahan, teknologi pengolahan yang belum optimal, dan rendemen tebu yang rendah. Hal ini berdampak pada kapasitas produksi gula lokal masih terbatas dan belum sebanding dengan kebutuhan nasional.

“Meskipun terdapat upaya revitalisasi pabrik gula dan peningkatan produktivitas, hasilnya belum signifikan dalam mengurangi ketergantungan pada impor. Selain itu, harga gula domestik seringkali lebih tinggi dibandingkan harga internasional, yang mempengaruhi daya saing gula lokal di pasaran,” ujarnya. (dh)