Guru Besar IPB University: Inkonsistensi Kebijakan Impor Sebabkan Lonjakan Harga Bawang Putih

Guru Besar IPB University: Inkonsistensi Kebijakan Impor Sebabkan Lonjakan Harga Bawang Putih

Guru Besar IPB University Inkonsistensi Kebijakan Impor Sebabkan Lonjakan Harga Bawang Putih
Berita

Harga bawang putih di Indonesia terus mengalami lonjakan. Kondisi ini memicu desakan agar pemerintahan di bawah kepemimpinan Prabowo segera memperbaiki tata kelola impor.

Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Manajemen (FEM) IPB University, Prof A Faroby Falatehan mengatakan, inkonsistensi kebijakan impor menjadi faktor utama yang menyebabkan lonjakan harga di dalam negeri.

“Kenaikan harga bawang putih yang terus berulang bukan disebabkan oleh kelangkaan pasokan dari negara produsen, melainkan akibat kebijakan impor yang tidak konsisten. Ketika realisasi impor rendah, stok dalam negeri menjadi terbatas dan harga melonjak,” ucap Prof Faroby.

Berdasarkan data Kementerian Perdagangan, realisasi impor hingga Mei 2024 hanya mencapai 133.690 ton, atau 38,27 persen dari total Persetujuan Impor (PI) yang telah diterbitkan.

Prof Faroby mengatakan, bahwa produksi bawang putih lokal di Indonesia masih rendah dan tidak mencukupi kebutuhan nasional. Saat ini, kebutuhan nasional untuk bawang putih per bulan sebesar 54.478 ton, atau 653.739 ton per tahun. Sementara produksi bawang putih dalam negeri tahun ini sekitar 22.343 ton.

“Jadi untuk menutupinya Indonesia perlu mengimpor, seperti pada tahun 2024 (hingga bulan September), tiga negara utama yang menjadi sumber impor bawang putih ke Indonesia adalah China (344,38 ribu ton), India (1,10 ribu ton), dan Jerman (0,86 ribu ton),” ucapnya saat dihubungi oleh reporter Humas IPB.

Menurut analis pasar Heber Chavez, Indonesia memimpin impor bawang putih global dengan 25,9 persen dari total volume impor dunia pada paruh pertama tahun 2024.

Kebijakan impor yang tidak konsisten juga diperparah oleh hambatan administrasi dalam penerbitan Surat Persetujuan Impor (SPI) dan Rekomendasi Impor Produk Hortikultura (RIPH) oleh Kementerian Pertanian. Ombudsman mencatat bahwa jumlah RIPH yang diterbitkan dua kali lipat dari kuota impor yang disetujui, menyebabkan kesulitan bagi importir dalam memperoleh SPI.

Dampaknya, lanjut Prof Faroby, harga bawang putih di dalam negeri terus meroket.
Berdasarkan pantauan Pusat Informasi Harga Pangan Strategis per 14 Februari 2025, harga bawang putih mencapai Rp 44.850 per kilogram.

Padahal, harga bawang putih impor dari China mengalami penurunan, hanya sekitar Rp23.340 per kilogram setelah dikonversi dengan biaya logistik. Operasi pasar yang dilakukan pemerintah dengan harga Rp29.000 per kilogram pun tidak mampu menekan lonjakan harga secara signifikan.

Prof Faroby juga mengusulkan bahwa Badan Usaha Milik Negara (BUMN) perlu diberdayakan dalam proses impor agar koordinasi dan pengawasan lebih efektif.

Selain itu, pemantauan oleh Badan Ketahanan Pangan terhadap gudang-gudang importir harus ditingkatkan untuk meminimalisasi praktik penimbunan, terutama menjelang bulan Ramadan dan Idulfitri.

Ia menilai, kebijakan wajib tanam lima persen dari total impor bagi importir dinilai menyulitkan pelaku usaha dan perlu dievaluasi (Peraturan Menteri Pertanian/Permentan Nomor 16/2017 tentang Rekomendasi Impor Produk Hortikultura dan Permentan No 24/2018).

“Kebijakan ini harus dikaji ulang agar benar-benar mendukung petani dan meningkatkan produksi dalam negeri, bukan sekadar beban administratif bagi importir,” ujar Prof Faroby.

Prof Faroby menambahkan bahwa sinkronisasi data antara kementerian dan pemerintah daerah juga menjadi isu penting dalam perencanaan impor bawang putih.

“Bawang putih termasuk dalam Neraca Komoditas yang digunakan untuk menganalisis pasokan dan permintaan. Namun saat ini banyak versi data yang berbeda antara kementerian dan pemerintah daerah. Kita perlu sinkronisasi data agar kebijakan yang dihasilkan lebih akurat, transparan, dan stabil,” ujarnya. (dr)