Disparitas Harga Solar Subsidi dan Nonsubsidi Picu Penyalahgunaan, Pakar IPB University Beri Dua Rekomendasi

Disparitas Harga Solar Subsidi dan Nonsubsidi Picu Penyalahgunaan, Pakar IPB University Beri Dua Rekomendasi

Disparitas Harga Solar Subsidi dan Nonsubsidi Picu Penyalahgunaan, Pakar IPB University Beri Dua Rekomendasi
Berita / Riset

Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Manajemen (FEM) IPB University, Prof A Faroby Falatehan mengatakan, perbedaan harga antara bahan bakar minyak (BBM) subsidi dan nonsubsidi di lapangan berpotensi menimbulkan ketidaktepatan dalam penyaluran subsidi.

“Yang menjadi masalah pada solar saat ini adalah disparitas/perbedaan harga antara yang subsidi dan nonsubsidi,” ujar Prof Faroby kepada reporter Humas IPB (17/2).

Ia menuturkan, perbedaan harga yang signifikan antara solar subsidi dan nonsubsidi menjadi pemicu utama penyalahgunaan subsidi oleh industri.

“Dengan selisih harga minimal Rp 7.800/liter dan perbedaan yang semakin besar hingga Rp 15.850/liter untuk Biosolar Industri B40, tidak heran jika banyak pelaku industri memilih menggunakan solar subsidi demi efisiensi biaya produksi,” ungkapnya.

Menurut Prof Faroby, kondisi ini menciptakan dilema dalam perusahaan. Di satu sisi, tim produksi ingin menekan biaya dengan menggunakan solar subsidi. Namun di sisi lain, pengelola di kantor pusat memahami bahwa penggunaan solar subsidi oleh industri dapat menimbulkan risiko hukum jika terungkap.

“Akibatnya, ketimpangan harga ini terus menjadi tantangan bagi dunia usaha,” ucapnya.

Selain penyalahgunaan di sektor industri, Prof Faroby juga mengatakan keterbatasan pasokan solar subsidi, terutama di luar Jawa. Di Kalimantan misalnya, antrean panjang kendaraan untuk mendapatkan solar subsidi masih menjadi persoalan serius.

“Banyak kendaraan harus antre sejak malam hingga pagi dengan jumlah pembelian yang dibatasi. Padahal di Balikpapan, Kalimantan Timur, terdapat kilang minyak terbesar milik Pertamina,” ujarnya.

Untuk mengatasi masalah penyaluran solar subsidi yang tidak tepat sasaran, Prof Faroby menyarankan pemerintah untuk mengevaluasi disparitas harga antara solar subsidi dan nonsubsidi. “Selama disparitas harga masih tinggi, penyalahgunaan solar subsidi akan terus terjadi,” tegasnya.

Sebagai solusi, ia merekomendasikan dua strategi utama kepada pemerintah. Pertama, menyesuaikan harga solar subsidi agar tidak terlalu jauh dari harga solar nonsubsidi. Hal ini bertujuan mengurangi insentif bagi industri untuk menyalahgunakan subsidi.

“Kedua, memperketat pemantauan, pengawasan, dan penegakan hukum terhadap stasiun pengisian bahan bakar (SPBU) dalam penjualan solar subsidi, agar lebih tepat sasaran,” sarannya.

Beberapa waktu lalu, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Bahlil Lahadalia mengungkap bahwa distribusi solar subsidi saat ini masih belum tepat sasaran sehingga butuh diperbaiki. Karena itu, Bahlil berencana menertibkan pengguna solar subsidi agar dapat dinikmati oleh masyarakat yang berhak. (dr)

Profil Prof A Faroby Falatehan
Prof A Faroby Falatehan adalah akademisi dan peneliti di bidang ekonomi sumber daya dan lingkungan yang saat ini aktif sebagai dosen di Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB University. Lahir di Cirebon pada 30 April 1976, Prof Faroby menyelesaikan pendidikan S1 di IPB, S2 di Universitas Indonesia, dan meraih gelar Doktor dari Universiti Kebangsaan Malaysia.

Dengan pengalaman panjang di berbagai lembaga riset dan pemerintahan, Prof Faroby telah terlibat dalam berbagai penelitian dan proyek strategis terkait pembangunan berkelanjutan, ekonomi sirkular, dan kebijakan lingkungan. Ia juga aktif dalam organisasi profesional seperti PERHEPI, ISSAAS, dan EAERE serta menjadi penasihat di berbagai institusi.

Selain sebagai akademisi, Prof Faroby memiliki kontribusi signifikan dalam penyusunan kebijakan publik, pengelolaan sumber daya alam, serta pengembangan ekonomi daerah di Indonesia.