Bank Emok: Solusi atau Masalah, Ini Kata Pakar IPB University
![Bank Emok Solusi atau Masalah, Ini Kata Pakar IPB University](https://www.ipb.ac.id/wp-content/uploads/2025/02/Bank-Emok-Solusi-atau-Masalah-Ini-Kata-Pakar-IPB-University-770x400.jpg)
Fenomena bank emok menarik perhatian khalayak. Keberadaannya dinilai membantu masyarakat, terutama ibu-ibu karena akses pinjaman yang cukup mudah.
Melihat fenomena ini, salah satu dosen IPB University di Fakultas Ekologi Manusia (Fema), Dr Istiqlaliyah Muflikhati beranggapan bahwa bank emok dan skema utang lainnya, seperti paylater semakin mendorong masyarakat terbiasa berhutang.
Permasalahan saat ini, ia menyebut, banyak orang, khususnya ibu-ibu, berhutang bukan untuk memenuhi, melainkan hanya memuaskan keinginan. Ia mengingatkan bahwa budaya hutang yang tidak terkendali dapat menjadi masalah serius bagi ekonomi rumah tangga.
Namun demikian, hasil wawancaranya kepada ibu-ibu, baik perdesaan maupun perkotaan, mereka mengaku terbantu dengan adanya bank emok. Menurut mereka, dari pada meminjam saudara atau tetangga yang terkadang sulit, bank emok jadi alternatif, apalagi ketika membutuhkan dana secara cepat.
“Misalnya, untuk keperluan membayar sekolah anak atau lainnya. Mereka melakukan peminjaman secara berkelompok dan setiap minggu mereka bertemu untuk membayar cicilan,” ucapnya.
Padahal, ia menyebut, bunga tahunan yang dibebankan bank emok cukup besar. Dr Istiqlaliyah, mengungkap bahwa skema kredit mikro bank emok memiliki bunga tahunan hingga 25 persen, belum termasuk biaya administrasi yang dibayarkan saat pencairan pinjaman.
“Jika meminjam Rp1 juta, cicilannya Rp25 ribu per minggu selama 50 kali. Ini belum termasuk biaya admin,” jelas dosen IPB University di Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen (IKK) ini.
Ia juga menyebut, meskipun sebagian ibu rumah tangga sadar bahwa sistem ini mengandung riba, banyak yang tetap meminjam karena keterpaksaan.
“Kalau ibu-ibu rajin membayar, maka akan ditawari lagi untuk meminjam. Ini yang tidak baik. Kalau hutangnya karena terpaksa, untuk makan misalnya, atau untuk usaha (utang produktif), tidak apa-apa. Permasalahannya adalah ibu-ibu jadi suka berhutang untuk memenuhi keinginan, bukan kebutuhan,” terangnya. (dr)