‘Menghidupkan Kembali’ Tasmanian Tiger yang Sudah Punah, Pakar Genetika Ekologi IPB University Sampaikan Ini 

‘Menghidupkan Kembali’ Tasmanian Tiger yang Sudah Punah, Pakar Genetika Ekologi IPB University Sampaikan Ini 

‘Menghidupkan Kembali’ Tasmanian Tiger yang Sudah Punah, Pakar Genetika Ekologi IPB University Sampaikan Ini 
Riset

Penemuan spesimen kepala Tasmanian tiger yang diawetkan dalam alkohol yang disimpan dalam sebuah ember selama 108 tahun di museum di Melbourne, Australia,  menghebohkan dunia. Kejadian tersebut sekaligus membuka jalan lebar untuk ‘menghidupkan’ kembali Tasmanian tiger yang telah punah.

Menurut Prof Ronny Rachman Noor, Pakar Genetika Ekologi IPB University, Tasmanian tiger dengan nama latin Thylacinus cynocephalus, terakhir tercatat mati pada tahun 1936 setelah melalui fase masa perburuan dan keserakahan manusia beratus-ratus tahun sebelumnya. Hewan ini kemudian secara resmi dinyatakan punah di tahun 1980-an.

“Kepunahan satwa predator karnivora membuat para pelestari satwa langka berduka sekaligus putus asa. Pasalnya, satwa langka ini selama ribuan tahun memegang peran penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem di Tasmania karena merupakan predator marsupial puncak,” lanjut Prof Ronny.

Ia menambahkan, “Tasmanian tiger ini dulunya pernah hidup di seluruh benua. Namun, dengan berjalannya waktu, populasi satwa liar ini menciut dan akhirnya terkonsentrasi di Tasmania di era sekitar 3.000 tahun yang lalu.” 

Menurut dosen Fakultas Peternakan IPB University ini, penampakan fisik Tasmanian tiger sangatlah unik. Postur tubuhnya menyerupai anjing dengan garis-garis mencolok di punggungnya. Dengan penampilan yang sangat unik ini membuat satwa liar ini diburu di era orang kulit putih yang datang dari Eropa mengkolonisasi Australia.

Ia juga beranggapan bahwa ditemukannya spesimen kepala Tasmanian tiger utuh ini membuka jalan lebar bagi para ilmuwan. Dengan menggunakan teknologi DNA, para ilmuwan dapat melakukan rekonstruksi genomnya. Caranya dengan menyatukan sebagian besar urutan DNA-nya, serta untaian RNA (molekul yang secara struktural mirip dengan DNA tetapi hanya memiliki satu untaian) yang menunjukkan gen mana yang aktif di berbagai jaringan saat hewan tersebut mati.

“Genom merupakan kunci untuk ‘menghidupkan kembali’ satwa liar yang sudah punah karena menyediakan cetak biru yang lengkap sehingga memungkinkan merekonstruksinya,” terangnya.

Para peneliti yang terlibat dalam ‘menghidupkan’ kembali Tasmania tiger menyatakan bahwa genom yang telah berhasil dirakit sampai saat ini telah mencapai tiga miliar pasangan basa nukleotida. Namun, Prof Ronny menyebut, rekonstruksi ini masih belum selesai karena masih ada sekitar 45 rangkaian DNA yang masih belum tersambung. 

“Diharapkan dalam beberapa bulan ke depan pekerjaan yang rumit ini dapat diselesaikan,” ujar Guru Besar Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan IPB University.

“Jika nantinya cetak biru Tasmanian tiger ini berhasil direkonstruksi, kemudian dilanjutkan dengan menggunakan teknologi reproduksi, diharapkan satwa liar yang sudah punah ini dapat ‘dihidupkan kembali’,” ujar Prof Ronny.

Profesor di bidang pemuliaan dan genetika ternak ini menuturkan, pekerjaan para peneliti ini dalam merekonstruksi genom Tasmanian tiger tidaklah mudah. Sebab, kata dia, para peneliti harus menangani RNA yang jauh lebih tidak stabil jika dibandingkan dengan DNA. 

“Perlu diketahui bahwa RNA bervariasi dalam berbagai jenis jaringan dan berisi apa yang secara efektif merupakan pembacaan gen aktif yang dibutuhkan agar jaringan tertentu berfungsi. Hal ini berarti bahwa para peneliti dapat memperoleh informasi yang terkait dengan fungsi berbagai organ,” jelasnya. 

“Di samping itu, sebagai perbandingan, para peneliti ini juga akan mengambil sel punca dari kerabat Tasmanian tiger yang masih hidup yang memiliki DNA mirip dengan satwa liar yang sudah punah ini untuk melakukan pengeditan gennya sebagai acuan untuk memprediksi sel yang dimiliki oleh Tasmanian tiger,” imbuh dia.

Setelah rekonstruksi genom ini selesai, langkah selanjutnya yang dilakukan para peneliti adalah mengembangkan teknologi reproduksi buatan dengan cara menginduksi ovulasi pada marsupial dan melakukan fertilisasi embrio sel tunggal. Kemudian, mereka akan mengembangkannya pada rahim buatan. 

“Diperkirakan para peneliti ini akan berhasil ‘menghidupkan kembali’ Tasmanian tiger yang sudah punah ini sekitar 3-5 tahun ke depan,” jelas Prof Ronny. Meski demikian, menurutnya, apa yang akan dihasilkan para peneliti ini belum tentu sama persis dengan Tasmanian tiger yang telah punah.

“Jika upaya kelompok peneliti internasional ini berhasil, maka akan menjadi tonggak baru dalam sejarah perkembangan ilmu pengetahuan sekaligus membuka lebar pintu untuk menghidupkan kembali satwa liar lainnya yang sudah punah,” ujar Prof Ronny.

Menurut Prof Ronny, satu hal yang perlu dipikirkan dengan matang adalah dampak terhadap ekosistem jika upaya ‘menghidupkan kembali’ Tasmanian tiger ini berhasil dan dilepaskan di alam. Sebab, kata dia, tingkah laku dan keberadaannya di alam belum dapat diprediksi dampak baik dan buruknya karena ekosistem tentunya memerlukan keseimbangan.

“Perlu dipikirkan secara cermat bahwa ‘menghidupkan kembali’ satwa liar yang sudah punah tidak saja menyangkut tantangan genetik dan reproduksi saja. Hal itu juga merupakan tantangan ekologi jika nantinya satwa liar yang dihidupkan kembali ini dan dilepas liarkan di alam,” bebernya. 

Di samping itu, ia menambahkan, perlu juga dilakukan upaya pelestarian sistematis agar satwa langka yang saat ini masih hidup dan terancam punah dapat dilestarikan dan dijaga jangan sampai punah. (*/Rz)