Ahli Ekonomi Syariah IPB University Soroti Integrasi Maqashid Syariah dalam Kebijakan Fiskal

Ahli Ekonomi Syariah IPB University Soroti Integrasi Maqashid Syariah dalam Kebijakan Fiskal

Ahli Ekonomi Syariah IPB University Soroti Integrasi Maqashid Syariah dalam Kebijakan Fiskal
Berita

Ahli Ekonomi Syariah IPB University, Dr Irfan Syauqi Beik menekankan pentingnya mengintegrasikan kerangka maqashid syariah dalam kebijakan fiskal dan pengelolaan keuangan publik. Hal tersebut ia sampaikan dalam sesi diskusi panel di hari kedua dari acara 8th Annual Islamic Finance Conference (AIFC) yang digelar oleh Kementerian Keuangan RI di Gedung Kemenkeu, Jakarta (4/10)

Maqashid syariah sendiri merupakan tujuan-tujuan syariah yang mencakup perlindungan terhadap lima elemen pokok kehidupan manusia: agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.

Ia menjelaskan bahwa dalam merancang kebijakan fiskal Islam, prinsip-prinsip dasar hukum (qawaid fiqhiyah) perlu dipahami secara menyeluruh. “Keuangan publik Islam harus didasarkan pada maslahat, yakni manfaat yang berkelanjutan bagi masyarakat, dan menghindari mafsadah (kerusakan) yang lebih besar,” katanya.

Dekan Fakultas Ekonomi dan Manajemen (FEM) IPB University ini menegaskan bahwa menjaga stabilitas fiskal dan menghindari mafsadah lebih penting daripada mencapai keuntungan jangka pendek.

Selain itu, Dr Irfan juga mengingatkan tentang peran penting negara dalam kebijakan fiskal Islam. Ia menyebut, negara harus menjalankan fungsi proteksi dan stabilisasi ekonomi, serta mengatur pajak dan utang dengan prinsip-prinsip yang sesuai dengan syariah.

“Pajak, meskipun kontroversial, dalam konteks Islam bukanlah hal yang haram jika digunakan untuk kemaslahatan umum dan dibenarkan oleh hukum syariah,” jelasnya.

Lebih lanjut, Dr Irfan memaparkan beberapa prinsip dasar dalam pengelolaan pajak dan utang dalam kerangka fiskal Islam. Menurutnya, pajak harus dikenakan pada aset yang halal dan bermanfaat untuk publik, dengan tingkat yang adil.

Sementara itu, utang pemerintah hanya boleh digunakan dalam situasi darurat, seperti untuk membiayai perang atau kebutuhan mendesak lainnya, dan harus memperhatikan kapasitas negara dalam melunasi utang tersebut.

Dr Irfan juga menyinggung pentingnya zakat dan wakaf sebagai instrumen penting dalam keuangan publik Islam. “Zakat sebagai kewajiban sosial dan wakaf sebagai sumber pendanaan jangka panjang, harus lebih terintegrasi dalam kebijakan fiskal untuk mendukung pembangunan ekonomi yang inklusif,” tambahnya.

Ia memberi contoh implementasi sistem zakat yang sudah berjalan di beberapa negara, termasuk Malaysia dan Singapura, yang bisa menjadi model bagi negara-negara muslim lainnya.

Ia mengusulkan agar Indonesia bisa mengintegrasikan zakat dan wakaf dalam sistem fiskal lebih mendalam, seperti yang sudah diterapkan di Aceh.
“Aceh sudah menunjukkan bagaimana zakat dan wakaf bisa menjadi sumber pendapatan daerah, yang dapat langsung didistribusikan dalam tahun fiskal yang sama,” ungkapnya.

Dr Irfan berharap agar Indonesia dapat memperkuat kerangka kebijakan fiskal berbasis maqashid syariah dan memanfaatkan potensi ekonomi halal dan digital untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan inklusif.

Ia juga mengapresiasi langkah Bank Indonesia dan Badan Pusat Statistik (BPS) yang mempromosikan konsep Islamic GDP atau Produk Domestik Bruto Islam sebagai upaya untuk mengukur kesejahteraan ekonomi dalam kerangka syariah. (MW/Rz)