Aku Ingin Hidup 50 Tahun Lagi

Aku Ingin Hidup 50 Tahun Lagi

Aku Ingin Hidup 50 Tahun Lagi
Rector Insight

Ada dua kisah singkat tentang manusia satu abad yang hidupnya sungguh berarti.

Pertama, sungguh saya merasa terhormat ketika Pak Emil Salim sering menelepon, dan sesekali mengundang saya untuk datang ke rumah beliau. Biasanya kemudian kami berbincang tentang perubahan iklim, isu favorit dan concern utama beliau.

Pak Emil selalu membuka pembicaraan dengan sebuah pertanyaan to the point, tanpa basa-basi, yang selalu dilanjutkan dengan pertanyaan-pertanyaan beruntun — suatu metode akademis yang telah menjadi bagian penting dalam hidupnya.

Ia akan bertanya tentang dampak perubahan iklim terhadap pangan di Indonesia. Apakah IPB sudah memiliki riset tentang hal tersebut? Bagaimana strategi IPB untuk mengatasi dampak perubahan iklim terhadap pangan?

Ia menaruh perhatian besar pada program makan bergizi gratis. Mungkinkah program tersebut mengakomodasi program diversifikasi pangan, sehingga setiap wilayah memiliki kekhasan pola pangannya, sesuai budaya dan karakteristik wilayah masing-masing dan tidak lagi tergantung pada beras?

Ia mendengar informasi bahwa di wilayah timur terjadi perubahan pola migrasi ikan. Apakah ini karena dampak perubahan iklim atau karena sebab-sebab lain?

“Bung, kali ini saya ingin bertanya kepada Bung sebagai Ketua ICMI, bukan sebagai rektor,” katanya, suatu kali. “Apa kira-kira yang dipikirkan kaum agama terkait perkembangan teknologi yang begitu cepat seperti artificial intelligence? Apakah ada dialog lintas agama yang membahas hal itu?”

Lalu ia menukik, dengan menyebut asal istilah algoritma (Alkhawarizmi), yang menjadi elemen penting dalam teknologi AI. “Bukankah ini kesempatan tokoh agama untuk bersatu menyikapi perkembangan teknologi yang sangat dahsyat ini? Apakah mungkin muncul Alkhawarizmi-Alkhawarizmi baru?”

*

Dengan pertanyaan spesifik itu, sangat terasa bahwa Pak Emil ingin mengajak kalangan pemuka Islam untuk memetik inspirasi besar dari ahli matematika di era keemasan Islam tersebut, yang kejeniusannya mengilhami ilmuwan Barat, bukan saja ilmuwan Muslim, sampai namanya diabadikan menjadi suatu sistem algoritma.

Pertanyaan-pertanyaan beliau membuat saya serasa sedang berada di ruang uijian disertasi, atau di konferensi yang membahas isu-isu aktual yang penuh dengan data dan argumen bernas. Ada pertanyaan yang bisa langsung saya jawab, ada pula yang saya tunda.

Bahkan ada yang perlu waktu bagi saya untuk berkonsultasi kepada para ahli IPB, agar mereka mempersiapkan jawaban dan data yang akurat. Ternyata diskusi-diskusi via telpon tersebut bisa memandu kita untuk merumuskan agenda-agenda riset masa depan. Suatu blessing in disguise yang sama sekali tak terduga.

Saya menangkap kesan kuat bahwa Pak Emil benar-benar sedang gundah tentang isu terkini dan kesiapan Indonesia dalam menyongsong masa depan. Beliau ingin memastikan bahwa kita siap menghadapi tantangan masa depan, sehingga Indonesia akan baik-baik saja.

Karena ia menyebut secara khusus soal AI, saya teringat bekas Menteri Luar Negeri Amerika, Henry Kissinger, yang dalam usia menjelang 100 tahun merasa perlu belajar dari nol tentang apa itu artificial intelligence.

Ia mengundang ahli-ahli terbaik, lalu bersama-sama menulis buku khusus tentang AI dan implikasi politik, ekonomi dan militernya dalam kompetisi global, terutama dalam menghadapi kemajuan pesat RRC. Kissinger sangat cemas negerinya kalah bersaing dengan RRC. Pak Emil pun tampak kuatir Indonesia tercecer dari banyak negara lain dalam urusan ini.

Beliau selalu memikirkan nasib Indonesia ke depan, dan sepanjang diskusi tidak pernah sedikit pun membicarakan masa lalu, apalagi membanding-bandingkan kondisi hari ini dengan masa silam, saat beliau, sebagai ekonom gemilang, mengemban tugas sebagai arsitek pembangunan dan lingkungan. Saya hampir tidak pernah mendengar beliau mengatakan “dulu saya….”; “dulu ketika saya jadi menteri…”, dan semacamnya.

Pak Emil terlalu bijak untuk tak menyadari besarnya perbedaan dan tantangan yang dihadapi oleh beliau dan para teknokrat segenerasinya dan para pengambil kebijakan negara hari ini. Dengan segenap kecemerlangannya yang telah mashur di mana-mana, ia tak sedikit pun berpretensi menggurui generasi baru seperti saya. Pak Emil justeru selalu siap dengan pertanyaan, bukan jawaban — atau “ajaran”.

*

Kedua, pada 6 September 2024, saya berkesempatan bersilaturahmi dengan Dr. Datuk Sri Mahathir Mohamad, mantan Perdana Menteri Malaysia. Beliau membuka diskusi dengan isu pangan. Menurutnya Indonesia terus tumbuh dan bahkan jumlah penduduknya masuk 5 besar dunia. “Tak ada isu penting untuk jumlah penduduk besar selain isu pangan,” katanya.

Menurut Dr. M, hal yang penting bagi universitas adalah membekali skill manajemen usaha estate pertanian. ”Pertanian di masa depan tidak bisa dikelola dengan cara-cara tradisional berlahan sempit seperti sekarang ini,” ujarnya. “Yang diperlukan adalah kawasan estate pertanian, dan mengelola estate sungguh berbeda dari mengelola pertanian dengan lahan sempit. Karena itu keterampilan manajemen estate pertanian harus dikuasai, dan orang-orangnya harus dipersiapkan.”

Apa yang dilakukan Eropa pada abad 19, tambah Dr. M, adalah mengenalkan estate pertanian perkebunan pada bangsa-bangsa Melayu. Kesuksesan Malaysia dalam produksi sawit juga tak lain karena suksesnya manajemen estate mereka.

“You harus banyak belajar dari Cina yang tumbuh sangat pesat,” ujarnya, dengan suara pelan namun tegas, membuat saya agak tersentak. Ia menyebut bahwa teknologi kendaraan listrik Cina sungguh cepat dan bahkan BYD kini sudah menyaingi Tesla. Proton yang dirintisnya kini juga jauh tertinggal dari mobil Cina.

Dr. M juga meminta saya belajar dari Korea Selatan, yang pertumbuhan industri elektroniknya juga memukau dan mulai berkembang pesat di pasar Eropa. ”Semua itu berkat faktor R&D yang kuat,” katanya. “Karena itu, kata kunci untuk bersaing di masa depan adalah riset.” Pesan yang cukup lazim ini terasa istimewa karena diucapkan dengan sepenuh kesungguhan oleh pemimpin sekaliber Datuk Mahathir, yang terlihat mengikuti dengan tekun perkembangan-perkembangan terbaru di berbagai bidang.

Ada satu lagi pesan beliau yang jarang kita pikirkan: Meningkatnya jumlah penduduk akan meningkatkan jumlah sampah. Dalam hal ini pun tak ada cara lain kecuali mengembangkan teknologi pengolahan sampah di masa depan. Lagi-lagi pangkalnya adalah riset.

*

Apa makna dari kisah tentang dua tokoh besar di atas? Ada persamaan antara Pak Emil Salim dan Datuk Mahathir.

Pertama, keduanya berusia mendekati satu abad. Dr. M berusia 99, dan Pak Emil 94 tahun.

Kedua, meski berusia hampir satu abad, keduanya adalah pembelajar sejati. Tampaknya mereka selalu ingat kata-kata Einstein: “Once you stop learning, you start dying.” Hidup, seperti kata fisikawan raksasa itu, memang bagaikan naik sepeda. Kita harus terus mengayuh. Jika berhenti menggowes, kita akan terjatuh. Belajar adalah menggowes sepeda kehidupan.

Mereka terus mengikuti dengan seksama isu-isu strategis terkini, bahkan selalu menantang kita untuk memikirkan kesiapan kita dalam menyiapkan masa depan yang lebih baik. Keduanya sama-sama fokus pada masa depan, dan menghindari nostalgia — apalagi dalam versi melankolik ataupun heroik.

Beberapa kali saya meminta Pak Emil untuk bercerita pengalaman masa lalunya dalam mengelola negara, namun ia tampak kurang tertarik sehingga kami kembali ke topik masa depan. Mereka berdua telah menabung begitu banyak pengalaman sukses untuk dipamerkan — selain kenyang menghadapi aneka situasi yang terkadang sangat menantang.

Namun mereka lebih tertarik mendiskusikan isu-isu hari ini dan masa depan; masa ketika mereka tidak mungkin menyajikan prestasi yang membanggakan, berhubung tak lagi berada dalam posisi yang memungkinkan untuk itu. Rasanya cukup jarang saya berhadapan dengan jenis tokoh seperti mereka. Yang lebih sering saya temui adalah figur-figur yang menikmati dan tenggelam dalam kejayaan masa silam.

Ketiga, keduanya menekankan bahwa kunci masa depan adalah riset dan teknologi. Mereka berusia hampir satu abad, namun kesadaran mereka tentang pentingnya penguatan riset dan teknologi tidak renta, justeru terlihat makin menguat. Pak Emil dan Dr. M bahkan fasih berbicara tentang AI, Blockchain, dan teknologi 4.0 lainnya, seakan usia mereka sepertiga dari umur sebenarnya.

Keempat, keduanya fokus pada isu-isu publik. Padahal, publik tentulah akan memaklumi jika mereka berdua beristirahat total dari aktivitas dan pemikiran untuk kepentingan publik. Kita tentu akan maklum karena kita tahu mereka sudah berbuat sangat banyak untuk negeri masing-masing, selain karena kita mengerti bahwa usia menjelang satu abad adalah masa terbaik untuk tidak berbuat apa-apa kecuali menikmati sisa hidup sebaik-baiknya, sambil “berteman” dengan cucu-cucu dan para cicit.

Tetapi rupanya mereka tak pernah sudi untuk melepaskan komitmen baku pada urusan publik. Yang mereka pikirkan hanya publik, negara, dan kehidupan bangsa di masa depan. Selain pembelajar sepanjang hayat, mereka adalah pemegang janji yang teguh seumur hidup.

Kelima, Pak Emil dan Dr. M menjadi tokoh besar bukan karena kata-kata tetapi karena karya. Keduanya jarang berkata-kata tentang karya mereka. Orang lainlah yang menguntai kata-kata tentang karya mereka. Inilah persisnya arti reputasi.

Pengakuan bukan muncul dari klaim pribadi, melainkan dari kekaguman dan rasa hormat orang lain terhadap karya mereka. Dan saya duga: pengakuan setinggi apapun akan mereka tanggapi alakadarnya saja. Mereka terlalu elegan untuk dimabukkan oleh pujian.

*

Kini usia saya sudah memasuki setengah abad. Kisah Pak Emil dan Dr. M menggugah kesadaran baru bahwa tidak ada istilah pensiun untuk memberi arti pada kehidupan. Tidak ada istilah pensiun untuk menebar manfaat bagi kepentingan publik.

Apa yang disabdakan Rasulullah wajib kita renungkan, bahwa manusia terbaik adalah “Orang yang panjang umurnya dan baik amalnya, sedangkan manusia terburuk adalah manusia yang panjang umurnya tapi buruk amalnya” (HR Ahmad).

Bila Chairil Anwar ingin hidup 1000 tahun lagi, saya cukup satu abad saja. Dan mudah-mudah dalam cara yang sama berartinya dengan hidup Bapak Emil Salim dan Datuk Mahathir Mohammad. *

Bogor, 18 September 2024
Kampus IPB Darmaga
Oleh Arif Satria