Bahas Keberlanjutan Pengembangan Wilayah Menuju Indonesia Emas 2045, P4W IPB University Gelar Webinar Bersama UNS

Bahas Keberlanjutan Pengembangan Wilayah Menuju Indonesia Emas 2045, P4W IPB University Gelar Webinar Bersama UNS

Bahas Keberlanjutan Pengembangan Wilayah Menuju Indonesia Emas 2045, P4W IPB University Gelar Webinar Bersama UNS
Berita

Menuju visi Indonesia Emas 2045, pengembangan wilayah pedesaan dan perkotaan menjadi perhatian bersama. Menanggapi hal tersebut, Pusat Pengkajian Perencanaan dan Pengembangan Wilayah (P4W) IPB University menyelenggarakan webinar kolaborasi dengan Pusat Informasi dan Pembangunan Wilayah (PIPW) Universitas Sebelas Maret (UNS), Rabu (21/8).

Webinar bertema ‘Keberlanjutan Pengembangan Wilayah Pedesaan dan Perkotaan Menuju Indonesia Emas 2045’ ini berlangsung dengan partisipasi aktif dari berbagai pihak dan menghadirkan sejumlah pembicara kunci.

Thomas Oni Veriasa, peneliti dari P4W IPB University, memaparkan studi tentang implementasi perhutanan sosial di Pulau Jawa. “Studi ini bertujuan untuk mengevaluasi sejauh mana perhutanan sosial berjalan dengan baik dan keberlanjutannya di hutan Jawa,” ungkap Thomas.

Ia turut menyoroti beberapa masalah dalam pengelolaan perhutanan sosial, seperti ketidakselarasan antara penerima izin dan kebutuhan akses kelola, serta penurunan kepercayaan terhadap lembaga pengelola.

“Masalah inklusivitas dan desentralisasi pengelolaan hutan sering menyebabkan penundaan pelaksanaan dan masalah dalam kualitas pemanfaatan kawasan perhutanan sosial,” tambahnya.

Thomas mengusulkan beberapa langkah perbaikan, termasuk menghentikan penerbitan izin baru sementara mengevaluasi kinerja izin yang ada, serta memperkuat desentralisasi tanggung jawab pengelolaan ke tingkat kabupaten/kota.

Di sisi lain, Selamet Kusdaryanto dari P4W IPB University memaparkan hasil studi pemetaan partisipatif lahan pertanian pangan berkelanjutan di Kabupaten Tangerang. Pemetaan ini menggunakan citra satelit dan data spasial untuk menghasilkan peta lahan akhir.

“Hasil studi menunjukkan beberapa kendala, seperti kurangnya familiaritas anggota kelompok tani dengan teknologi GIS dan koordinasi yang rumit dengan berbagai pemangku kepentingan,” ujar Selamet.

Hasil pemetaan menunjukkan berbagai isu, termasuk pengelolaan air untuk pertanian, sistem kelembagaan petani, dan masalah alat mesin pertanian. “Sistem irigasi yang tidak merata dan akses permodalan petani yang belum optimal menjadi isu utama yang perlu diatasi untuk meningkatkan produktivitas pertanian,” jelas Selamet.

Manfaat dari pemetaan partisipatif ini meliputi penyelesaian konflik tata batas lahan, pengakuan wilayah adat, dan dasar partisipasi masyarakat dalam pembangunan pertanian.

Dr Mulyanto dan Dr Sri Yuliani dari PIPW UNS turut memberikan pandangan tambahan mengenai pentingnya partisipasi masyarakat dalam perencanaan wilayah. (*/Rz)