Visa Pelajar Melonjak Tajam, Prediksi Guru Besar IPB University: Kejayaan Pendidikan Australia Makin Memudar

Visa Pelajar Melonjak Tajam, Prediksi Guru Besar IPB University: Kejayaan Pendidikan Australia Makin Memudar

Visa Pelajar Melonjak Tajam, Prediksi Guru Besar IPB University Kejayaan Pendidikan Australia Makin Memudar
Riset

Para penggiat pendidikan di Australia baru-baru ini dikejutkan dengan rencana pembatasan jumlah mahasiswa internasional oleh pemerintah federal Australia. Langkah pertama yang cukup mengejutkan adalah kenaikan biaya visa pelajar dari $710 menjadi lebih dua kali lipatnya, yaitu $1.600 mulai 1 Juli ini.

Guru Besar IPB University, Prof Ronny Rachman Noor memprediksi kebijakan naiknya biaya visa pelajar ini akan menjadi masalah besar bagi universitas di Australia. Hal ini menurutnya juga merupakan lonceng kematian era kejayaan pendidikan Australia yang selama ini mengandalkan mahasiswa Internasional sebagai bagian dari pendidikannya.

“Diprediksi, kondisi ini akan berdampak besar pada perekonomian Australia karena jumlah mahasiswa asing diprediksi akan menurun tajam,” ujar sosok yang pernah sebagai Atase Pendidikan dan Kebudayaan (Atdikbud) Indonesia di Australia pada tahun 2012-2016 ini.

Sebagai gambaran, dalam kurun waktu Juli 2023-Mei 2024, jumlah visa calon mahasiswa internasional yang dikeluarkan mencapai 440.000.

“Tidak dapat dimungkiri, keberadaan mahasiswa Internasional di Australia berdampak besar bagi sektor ekonomi riil Australia. Dengan biaya visa sebesar ini, pembuatan visa menjadi lebih mahal jika dibandingkan dengan negara pesaing lainnya,” paparnya.

Menurut dia, mahasiswa internasional di Australia menjadi tulang punggung pendapatan negara yang nilainya mencapai $40-$50 miliar per tahun. Jumlah mahasiswa asing di Australia sampai bulan Februari 2024 saja mencapai 713.144 orang. Dengan angka sebesar ini, mahasiswa asing menyumbang devisa yang sangat besar bagi pemerintah Australia.

Lantas, kebijakan kenaikan biaya visa ini mendapat resistensi dari Asosiasi Pendidikan Internasional Australia. Mereka menyatakan bahwa kebijakan pemerintah Australia yang mengejutkan ini merupakan pukulan telak bagi sektor pendidikan internasional di Australia.

Kebijakan ini pun memicu keresahan dan kemarahan di kalangan mahasiswa internasional yang sedang menempuh pendidikan di Australia. Terlebih, peningkatan biaya visa ini bukan satu-satunya beban yang dirasakan oleh mahasiswa internasional. Mereka pun diwajibkan untuk menyediakan biaya deposit yang juga sangat tinggi.

Di samping itu, selama kurun waktu 20 tahun terakhir, biaya akomodasi, biaya pendidikan, biaya hidup dan asuransi pendidikan di Australia melonjak sangat tajam. Hal ini, sebut Prof Ronny, selaras dengan semakin melemahnya perekonomian Australia.

“Dengan semakin memburuknya perekonomian Australia, jumlah beasiswa dan juga dana pendidikan yang dialokasikan ke universitas semakin menurun,” jelasnya.

“Jika dianalisa lebih dalam lagi, tampaknya kenaikan biaya visa ini memang ditujukan untuk memperoleh dana tambahan untuk mendanai pendidikan, termasuk pemotongan utang lulusan, sukunan pendanaan peserta magang dan penerapan strategi imigrasi,” ujar Prof Ronny.

Berdasarkan analisisnya, pemerintah Australia tampaknya ingin merampingkan jumlah mahasiswa internasional untuk meningkatkan kualitasnya. Salah satunya untuk mengontrol jumlah imigran yang melonjak tajam pasca pandemi COVID-19, mencapai 528 ribu orang di tahun 2022-2023.

Sebelum ketegangan politik antara Tiongkok dan Australia, mahasiswa internasional dari Tiongkok angkanya mencapai lebih dari 150 ribu orang, menjadikannya salah satu negara dengan mahasiswa terbanyak yang berkuliah di Australia. Adapun Indonesia, jumlah rata-ratanya sekitar 11.000 orang setiap tahunnya.

“Jika dianalisa lebih dalam lagi, faktor kedekatan jarak dan mutu pendidikan merupakan dua faktor utama yang menyebabkan Australia menjadi salah satu tujuan pendidikan favorit. Namun, selama kurun waktu 20 tahun terakhir, biaya pendidikan di Australia meroket yang menyebabkan pemberi beasiswa pendidikan memilih negara lain untuk mengirimkan mahasiswanya karena jelas lebih murah,” tutur Prof Ronny.

Sebagai ilustrasi, mengirimkan seorang mahasiswa untuk studi ke Australia untuk jenjang master dan doktor akan setara dengan 4-5 mahasiswa jika menyelesaikan pendidikan di Indonesia atau beberapa negara lain di kawasan Asia dengan reputasi akademik yang setara dan biaya pendidikan yang lebih murah.

Prof Ronny juga berpandangan, kenaikan biaya pendidikan dan visa ini akan memengaruhi hubungan Australia dengan negara-negara tetangga kawasan Indo Pasifik, termasuk Indonesia. Sebab, mereka akan lebih memilih untuk mengirimkan mahasiswa ke negara lain, termasuk Inggris yang biaya visanya hanya sebesar $900 dengan biaya pendidikan yang setara atau bahkan lebih murah. Demikian juga jika dibandingkan dengan Kanada dan Amerika yang biaya visanya lebih murah. (*/Rz)