Tanggapi One Map Policy, Ini Catatan Guru Besar IPB University
Prof Luky Adrianto, Guru Besar Pengelolaan Sumberdaya Perikanan IPB University mengatakan rencana tata kelola ruang daratan dan laut dalam Kebijakan Satu Peta (KSP) atau One Map Policy mesti saling terhubung. Menurutnya, manajemen tata kelola ruang pemerintahan juga penting dan perlu dimasukkan dalam kerangka KSP.
Hal tersebut ia sampaikan dalam sesi talkshow acara One Map Policy Summit 2024 yang digelar oleh Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian RI, Jum’at (12/7), di Main Ballroom Hotel St Regis Jakarta.
Kata dia, langkah tersebut menanggapi transformasi perekonomian berbasis ekonomi biru yang tercantum tegas dalam dokumen teknokratis Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP). Prof Luky menyebut, konteks tata kelola ekonomi biru mesti membahas ekosistem perairan darat dan laut, serta tidak hanya membahas sektor perikanan.
“Catatan saya untuk One Map Policy ini tidak hanya soal integrasi dalam kerangka peta dasar atau peta tematik, tetapi adalah linkingnya (antara tata kelola perairan darat dan perairan laut),” ujar dia.
“Walau sektor kemaritiman penting, tetapi bila tidak ada tata ruang terintegrasi dari darat maka tidak bisa sektor laut menjadi sumber ekonomi yang sehat,” lanjutnya.
Interconnecting spatial planning dan linking spatial science menjadi penting, ia menambahkan. Terlebih, dalam konteks perencanaan dan penyusunan tata kelola ruang laut bersifat tiga dimensional. Kebijakannya juga harus ditempatkan dalam konteks tematik KSP.
Percepatan KSP menurutnya memerlukan dukungan multipihak, misalnya dengan sharing funding yang dapat menjadi bagian dari konteks KSP. “Dengan catatan protokol, standardisasi pemetaan, dan surveinya juga menjadi bagian dari standardisasi metodologi one map policy, khususnya terkait dengan zona ekonomi eksklusif (ZEE),” terang Prof Luky.
Tidak hanya soal teknis peta tematik, kebijakan tata kelolanya juga harus terintegrasi. Manajemen tata kelola dan pemerintahannya, menurutnya juga perlu dimasukkan ke dalam kerangka KSP karena terdapat 35 instansi yang terlibat.
“Kebijakan ini juga sebagai satu (contoh) dari prinsip transformative ocean governance (TOG) yang saya kira perlu diadopsi oleh Indonesia sebagai negara kelautan terbesar,” tutupnya.(MW)