Pakar IPB University: Kesehatan dan Keselamatan Pekerja Kehutanan di Tingkat Tapak Belum Banyak Diperhatikan
Guru Besar IPB University bidang Ergonomi Kehutanan, Prof Efi Yuliati Yovi menyoroti aspek keselamatan dan kesehatan pekerja kehutanan di Indonesia, terutama mereka yang bekerja di tingkat tapak. Ia mengatakan, pekerja kehutanan tingkat tapak masih dihadapkan dengan berbagai tantangan yang mengancam kesehatan, keselamatan, produktivitas kerja, dan kenyamanan kerja.
Menurutnya, tantangan tersebut dapat dijawab dengan pendekatan ilmu ergonomi. Ergonomi adalah ilmu yang mempelajari dan mengkaji interaksi manusia, alat, dan sistem kerja. Prinsip ergonomi digunakan untuk meningkatkan kualitas lingkungan kerja di sektor kehutanan. Namun, pendekatan itu belum banyak diimplementasikan di kehutanan Indonesia, terutama pekerja di tingkat tapak.
“Padahal, pendekatan ergonomi yang komprehensif dapat mengurangi potensi gangguan ergonomi dan keselamatan dan kesehatan kerja (K3), sambil meningkatkan efisiensi dan produktivitas kerja bagi para pekerja kehutanan, yang merupakan syarat penting dalam mencapai pengelolaan hutan yang lebih baik,” kata Prof Efi saat Konferensi Pers Pra Orasi Ilmiah Guru Besar IPB University secara daring, (18/7).
Prof Efi membeberkan penyebab ergonomi dan K3 yang belum optimal diterapkan di sektor kehutanan Indonesia. Pertama, ergonomi masih dianggap sebagai cost center. Padahal, berdasarkan risetnya, hanya dua persen saja anggaran yang dibutuhkan untuk perlindungan K3, dan itu jauh lebih kecil daripada biaya untuk menangani kecelakaan.
Penyebab berikutnya adalah kurangnya awareness perusahaan terhadap pekerja kehutanan khususnya di tingkat tapak. “Di pertambangan dan energi itu mereka sudah menghitung (ergonomi). Jadi mereka tahu bahwa safety pekerja ini brand image suatu perusahaan. Di kehutanaan belum terbangun,” katanya.
Dalam pandangan pekerja, kata Prof Efi, aspek pengetahuan K3 dan penggunaan alat pelindung diri (APD) masih rendah. Pekerja juga tidak memerhatikan aspek tersebut karena bisa menyita waktu. Menyita waktu berarti merugikan pendapatan mereka.
“Jadi penyebabnya adalah masih menganggap ergonomi dan K3 sebuah cost center, belum ada pengawasan yang baik, sistem pengupahan, dan tingkat pengetahuan pekerja. Semua itu seperti lingkaran setan. Jadi, kita harus memutus lingkaran tersebut agar masalah ini bisa terurai,” kata Prof Efi.
Prof Efi menyarankan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) RI memikirkan aspek safety pekerja kehutanan sampai tingkat tapak. Kata dia, KLHK bisa membuat satu direktorat khusus yang berkaitan dengan aspek ergonomi atau K3 seperti di kementerian lain.
“Saya rasa pengorganiasian, pengelolaan, dan pengaturan itu jadi mudah. Jadi kita bisa tahu persis apa yang terjadi dan apa yang perlu kita lakukan, karena kita tahu persis situasi di lapangan,” ujarnya.
Kemudian, lanjut Prof Efi, pemerintah juga harus menjamin bahwa pekerja kehutanan tingkat tapak adalah pekerja yang berkompeten. Sejauh ini, belum ada skema kompetensi untuk tenaga kerja di tingkat tapak. (MHT/Rz)