Guru Besar Ilmu Ekonomi IPB University Jelaskan Tantangan Indonesia dalam Kerja Sama Perdagangan ASEAN

Guru Besar Ilmu Ekonomi IPB University Jelaskan Tantangan Indonesia dalam Kerja Sama Perdagangan ASEAN

Guru Besar Ilmu Ekonomi IPB University Jelaskan Tantangan Indonesia dalam Kerja Sama Perdagangan ASEAN
Riset

Indonesia sebagai salah satu negara kawasan Asia Tenggara atau Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) masih memiliki banyak tantangan, salah satunya dalam hal perdagangan negara khususnya di komoditas pertanian.

Guru Besar Tetap Fakultas Ekonomi dan Manajemen (FEM) IPB University, Prof Dedi Budiman Hakim menjelaskan bahwa dalam menghadapi tantangan tersebut negara-negara di Asia Tenggara memiliki kerja sama perdagangan dalam kerangka ASEAN Free Trade Area (AFTA) dan ASEAN Economic Community (AEC) atau Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)

“Hal ini dilakukan melalui pengurangan dan penghapusan hambatan perdagangan serta mobilitas jasa dan faktor produksi khususnya tenaga kerja terlatih. AFTA dan AEC juga menjadi peluang bagi Indonesia untuk meningkatkan akses pasar khususnya untuk perdagangan produk pertanian,” jelas Prof Dedi dalam materi siaran pers yang disampaiakan ke media pada 18/7.

Prof Dedi mengatakan, hasil analisa dampak dari AFTA menunjukkan bahwa Indonesia tidak mengalami kenaikan impor yang drastis atau signifikan. Bahkan Indonesia menjadi negara yang paling tidak terpengaruh dengan adanya liberalisasi perdagangan di kawasan ASEAN.

“Nilai total ekspor Indonesia setelah AFTA menunjukkan adanya tren kenaikan ke masing-masing negara ASEAN sampai tahun 2011. Namun demikian, sejak tahun 2012 sampai 2020, tren nilai ekspor Indonesia cenderung turun. Hal ini harus menjadi perhatian bagi Indonesia karena menjadi indikasi pemanfaatan AFTA belum optimal,” tuturnya.

Ia menuturkan, selain faktor rendahnya share perdagangan pertanian terhadap total perdagangan, faktor preferensi konsumen atau rumahtangga mempunyai kontribusi terhadap tidak maksimalnya manfaat kerja sama AFTA dan MEA.

“Produk pertanian yang diekspor oleh negara-negara ASEAN bersifat substitusi bukan komplementer dan tidak responsif terhadap peningkatan pendapatan atau daya beli (Bennet’s law) serta berkurangnya proporsi belanja untuk pangan (Engel’s law),” kata dia.

Menurut Dosen Ilmu Ekonomi tersebut, peluang ASEAN untuk membentuk kerja sama perdagangan dan ekonomi seperti Uni Eropa sangat kecil. Hal ini disebabkan oleh tidak adanya klausul atau kewajiban untuk memberikan kompensasi atas kerugian akibat liberalisasi perdagangan.

“Selain itu, prasyarat adanya badan supranasional tidak mungkin terpenuhi. Kerja sama ekonomi pasar bersama memerlukan integrasi ekonomi yang lebih luas dan koordinasi kebijakan ekonomi, yang tidak dimiliki ASEAN,” ungkap Prof Dedi. (Lp)