Petani Harus Tahu, Pakar Proteksi Tanaman IPB University Ungkap Dua Strategi Atasi Virus Tanaman Sayur
Pakar Proteksi Tanaman IPB University, Prof Tri Asmira Damayanti mengungkap strategi pengelolaan virus pada tanaman sayur dengan pemanfaatan bahan hayati. Pasalnya, selama ini yang paling umum dilakukan petani adalah dengan penyemprotan insektisida sintetis yang justru berdampak negatif, salah satunya pencemaran lingkungan.
“Jalan pintas yang sering dilakukan petani adalah dengan menyemprotkan insektisida sintetis. Ini dapat meningkatkan penularan virus karena matinya musuh alami, resistensi kutu daun dan hama lain, serta mengakibatkan pencemaran lingkungan,” ujarnya dalam Konferensi Pers Pra Orasi Ilmiah Guru Besar IPB University yang digelar secara daring (20/6).
Selain itu, harga insektisida cukup mahal, serta tidak kompatibel digunakan pada pertanian organik. Terlebih, saat ini belum ada virusida kimia yang dapat mengendalikan virus tanpa mengganggu inangnya. Karena itu, Prof Tri Asmira menyebut bahwa strategi pengelolaan virus mesti dilakukan secara tidak langsung.
Prof Tri Asmira mengungkapkan, strategi yang dapat dilakukan adalah dengan penggunaan tanaman penghalang serta pemanfaatan ekstrak tanaman dan kitosan. Penggunaan tanaman penghalang menjadi strategi yang menghalangi kutu daun yang mengandung virus (viruferous) masuk ke pertanaman utama untuk menularkan virus non-persisten.
“Tanaman penghalang berperan sebagai pembatas fisik, bak penampung virus, kamuflase dan tanaman perangkap untuk menghalangi kutu daun viruferous masuk ke tanaman utama,” jelasnya.
Akan tetapi, sebut dia, cara ini kurang mendapat perhatian petani untuk diterapkan dalam budi daya tanaman sayuran dan pangan non-padi. Padahal, komoditas tersebut banyak diinfeksi oleh virus non-persisten.
Selain itu, ia menyebutkan beberapa bahan tanaman seperti ekstrak tanaman dan kitosan dapat dimanfaatkan untuk mengelola infeksi virus. Sebab, kedua bahan tersebut memiliki kemampuan dalam menginduksi ketahanan tanaman, bersifat antivirus dan efek insektisidal.
“Penyemprotan ekstrak kasar daun tanaman meniran, pegagan, sambiloto, dan patah tulang menunjukkan mampu menekan Bean common mosaic virus (BCMV) melalui mekanisme induksi ketahanan tanaman. Ekstrak kasar rimpang temulawak, daun mrico kepyar, dan daun anyelir menunjukkan memiliki substansi antivirus yang mampu menekan infeksi,” urainya.
Penelitian yang dilakukannya juga menunjukkan bahwa ekstrak daun mimba, tempuyung, bugenvil, pukul empat, geranium, jengger ayam, pagoda, jambu biji, kecubung, kulit manggis dan rimpang jahe merah menekan BCMV melalui induksi ketahanan tanaman dengan keefektifan berkisar 68,1 sampai 100 persen tergantung jenis ekstrak tanaman.
Keefektifan ekstrak daun bugenvil (81,45%), dan pukul empat (80,68%) juga terbukti mampu menekan infeksi Squash mosaic virus pada tanaman oyong. Sementara ekstrak daun kelor (77%) dan ekstrak daun bugenvil (82,4%) efektif menekan infeksi virus belang kacang tanah.
Begitu juga halnya dengan kitosan, menunjukkan mampu menghambat keparahan penyakit mosaik berkisar 39,5 – 64,6 persen dan menurunkan konsentrasi virus mosaik berkisar 75,9 sampai 86,7 persen.
Prof Tri Asmira juga menuturkan, integrasi tanaman penghalang dengan bahan hayati ekstrak tanaman atau kitosan menjadi strategi profilaktik dan imunisasi terpadu. Hal itu menjadi satu paket pengelolaan virus yang telah berhasil dibuktikan lebih efektif mengelola virus non-persisten yang ditularkan kutu daun di lapangan.
“Integrasi tanaman penghalang dan bahan hayati dapat diterapkan sebagai satu paket pengelolaan virus non-persisten yang perlu dimanfaatkan dan dikembangkan secara luas. Pemanfaatan bahan hayati yang mudah didapatkan dapat mengurangi penggunaan insektisida sintetis,” ungkapnya.
Penerapannya dapat dikombinasikan dengan metode-metode pengendalian lain yang kompatibel dan saling mendukung. “Paket pengelolaan virus non-persisten ini sangat sesuai diterapkan pada pertanian organik dan pertanian skala kecil sampai menengah, dimana mayoritas petani sayuran dan pangan non-padi merupakan petani dalam kelompok ini di Indonesia,” pungkas Prof Tri Asmira. (dh/Rz)