IPB University Gelar Konferensi Internasional Pertama di Indonesia Bahas Tantangan dan Peluang Pulau di Dunia
Pulau-pulau kecil di dunia menghadapi tekanan besar dari perencanaan bias darat, kurangnya pemahaman budaya pulau, dan keterbatasan alamiah. Pulau bukan sekadar daratan di tengah laut, melainkan ruang sosial hasil adaptasi manusia dan ekologi. Perubahan iklim menambah tekanan pada ekosistem dan ekonomi pulau, mengancam sumber daya dan memaksa penduduk bermigrasi karena lingkungan tak lagi mendukung kehidupan mereka.
Di tengah semakin besarnya tantangan global tersebut, akademisi, praktisi maupun pengambil keputusan pengelolaan pulau-pulau di dunia berkumpul di Pulau Lombok pada 25/6, dalam acara “19th World Islands Conference,” yang untuk pertama kali dilaksanakan di Indonesia dengan mengusung tema “Islands and Resilience: Global Opportunities.”
Konferensi ini diselenggarakan secara kolaboratif antara Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Laut (PKSPL) IPB University dan Lembaga Riset Internasional Kemaritiman, Kelautan dan Perikanan (LRI i-MAR) IPB University dengan Universitas Mataram, Archipelagic and Islands States Forum (AIS), dan International Small Islands Studies Association (ISISA) dengan dukungan penuh dari berbagai pihak.
Prof Yonvitner selaku Kepala PKSPL IPB University menyampaikan bahwa konferensi dihadiri oleh 28 negara untuk mendiskusikan tentang perubahan iklim, ekonomi biru, tata kelola pulau kecil, serta budaya pulau dan kepulauan.
“Selain diskusi mengenai hasil studi mengenai pulau-pulau, konferensi ini akan mengajak peserta juga untuk merasakan kehidupan dan tradisi masyarakat pulau kecil di Pulau Lombok melalui ekskursi lapang,” ujarnya.
Rektor IPB University, Prof Arif Satria menjelaskan bahwa konferensi pulau-pulau dunia yang pertama di Indonesia ini menandakan bahwa Indonesia dan IPB University akan mengambil peran penting di dunia untuk pengembangan studi mengenai pulau-pulau dan berkontribusi pada pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs) tahun 2030.
“IPB University juga menginginkan kerjasama yang lebih kuat dengan berbagai institusi di dunia untuk menjawab tantangan pembangunan pulau-pulau. Isu perubahan iklim seperti kenaikan air laut, gelombang ekstrim, angin topan membutuhkan jawaban, maka diskusi ini diharapkan mampu menghasilkan jawaban dan komitmen baru untuk memecahkan masalah,” ucapnya.
Bambang Hari Kusumo selaku Rektor Universitas Mataram juga menyatakan antusiasmenya dalam konferensi ini. “Kami berharap diskusi pada konferensi ini akan menghasilkan buah-buah penting untuk membangun pulau-pulau yang tangguh, kaya akan ekosistem yang sehat dan mensejahterakan masyarakat,” tuturnya.
Laurie Brinklow, presiden ISISA, menyatakan bahwa ISISA adalah organisasi pertama yang mengumpulkan akademisi, praktisi, dan pemerintah dari negara pulau untuk membahas geografi, ekologi, budaya, politik, dan model pengelolaan pulau. ISISA mengajak banyak pihak melihat pulau sebagai objek kajian unik yang disatukan oleh lautan.
Sementara, Victor Gustaaf Manoppo, Dirjen Pengelolaan Kelautan dan Ruang Laut mewakili Menteri Kelautan dan Perikanan RI dalam menegaskan bahwa pemerintah Indonesia menilai bahwa perairan Indonesia sangat berharga sekaligus rentan dari aktivitas manusia, perubahan iklim maupun polusi. “Ekonomi biru adalah formula untuk menjawab tantangan dengan orientasi healthy ocean, wealthy ocean and ocean prosperity,” ungkap Victor.
Pada kesempatan ini juga, Prof Luky Adrianto selaku kepala i-Mar PB University menyampaikan bahwa Indonesia memiliki DNA sebagai negara kepulauan yang membutuhkan kajian transdisiplin mengenai tata kelola dan pemanfaatan keberlanjutan dari mulai aspek land system, sistem perairan hingga circle yang lebih luas yakni sebagai archipelagic system thinking. (yp/Lp)