Pakar Ilmu Komunikasi IPB Tanggapi Isu Rancangan Revisi UU Penyiaran
Rancangan revisi Undang-Undang (UU) Penyiaran yang sedang dibahas oleh DPR RI belakangan ini menuai pro dan kontra. Salah satu perubahan utama adalah perluasan cakupan penyiaran untuk mencakup platform digital, termasuk layanan over-the-top (OTT) seperti Netflix, Amazon Prime, dan Disney+ Hotstar. Dengan perubahan tersebut, platform digital akan diawasi oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan harus mematuhi aturan yang sama dengan penyiaran konvensional seperti televisi dan radio.
Revisi ini juga fokus pada pengaturan isi dan konten siaran, sehingga semua bentuk siaran, baik konvensional maupun digital, akan diperlakukan sama di mata hukum. Rancangan revisi UU Penyiaran menimbulkan kritik yang menyatakan bahwa pengaturan yang ketat ini berpotensi membatasi hak publik untuk mengakses konten yang beragam.
Dr Dwi Retno Hapsari, pakar ilmu komunikasi IPB University menjelaskan bahwa revisi UU tersebut merupakan inisiasi yang patut dicermati bersama oleh seluruh pihak terkait. Menurutnya, dengan melihat latar belakang revisi UU Penyiaran tersebut yaitu untuk menciptakan penyiaran yang lebih mendidik, berkualitas, edukatif, kreatif, inspiratif, bermanfaat, dan mencerdaskan bangsa.
“Sebenarnya tujuan dari revisi UU ini untuk menyikapi perkembangan teknologi penyiaran, tetapi memang setiap ada revisi undang-undang pasti ada pro dan kontra karena masalah implementasinya nanti. Apakah implementasi sejalan dengan tujuannya? Memang ada beberapa kekhawatiran terutama terkait adanya potensi terjadinya pembatasan kebebasan pers,” kata Dr Retno, dosen IPB University dari Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia.
Ia menjelaskan, salah satu pasal kontroversial yang sedang ramai diperbincangkan adalah Pasal 50 B ayat 2 huruf C yang menyatakan bahwa Standar Isi Siaran (SIS) melarang penayangan eksklusif jurnalistik investigasi. Aturan baru ini dinilai mengekang kebebasan pers, terutama dalam hal konten investigasi dan kritis yang sering kali ditayangkan melalui platform digital.
“Media ini kan disebutnya fourth estate, pilar keempat negara. Apalagi ada watchman function, policy function, dan teaching function sebagai tujuan jurnalistik pembangunan,” ujarnya.
Ia mengatakan, media menjadi ruang untuk kebutuhan berekspresi dalam arti menyuarakan aspirasi masyarakat. Namun, sebagai masyarakat seharusnya tetap mengetahui batasan-batasan.
Menurutnya, adanya dinamika yang terjadi saat ini membutuhkan diskusi lebih dalam lagi antar stakeholders. Diskusi tersebut untuk membahas secara detail rancangan revisi UU Penyiaran sampai ke implementasinya karena dikhawatirkan ada pasal-pasal karet.
“Harus duduk bersama antara pemerintah, insan media dan masyarakat. Pembatasannya sampai sejauh apa karena penyiaran digital tanpa sensor juga bisa berbahaya. Selain itu, media harus menjunjung tinggi netralitas, berhak melakukan investigasi ketika prosesnya sesuai dengan prinsip jurnalistik,” kata Dr Retno.
Ia menegaskan, rancangan revisi UU Penyiaran membawa dampak yang signifikan baik dari sisi pengawasan konten maupun perlindungan publik. Namun demikian, revisi tersebut juga menimbulkan kekhawatiran mengenai kebebasan ekspresi, kebebasan pers, dan potensi pembatasan akses terhadap konten yang beragam. “Perlu adanya keseimbangan antara regulasi yang efektif dan perlindungan terhadap hak-hak fundamental agar dampak negatif dapat diminimalisir,” pungkasnya. (Rani/ra)