Guru Besar IPB University Ungkap Tantangan Indonesia Hadapi Regulasi EUDR
Pada tahun 2023, Uni Eropa mengesahkan regulasi anti-deforestasi yang dikenal sebagai European Union Deforestation Regulation (EUDR). Regulasi ini akan diberlakukan untuk memastikan komoditas yang masuk Uni Eropa tidak berkaitan dengan aktivitas deforestasi.
Indonesia sebagai negara pengekspor komoditas ke Uni Eropa, akan terkena dampak dari regulasi ini, terutama bagi petani kecil. Untuk mengkaji ini, Direktorat Kajian Strategis dan Reputasi Akademik (DKSRA) IPB University menyelenggarakan The 42nd IPB Strategic Talks “Penerapan European Union Anti-Deforestation Regulation: Implikasi dan Langkah Antisipasi”.
Prof Ernan Rustiadi selaku Wakil Rektor Bidang Riset, Inovasi dan Pengembangan Agromaritim IPB University menyampaikan bahwa kemunculan EUDR telah menimbulkan berbagai pandangan dan respon dari berbagai kalangan.
“Maka dari itu, forum ini menjadi kesempatan untuk mengkaji lebih dalam terkait EUDR agar kita lebih mudah untuk menentukan posisi dan mengambil langkah antisipasi menyikapi kebijakan ini,” ungkap Prof Ernan pada Selasa, 13/1 secara daring.
Pada kesempatan ini, Prof Suria Darma Tarigan, Guru Besar Fakultas Pertanian, IPB University menjelaskan mengenai beberapa tantangan yang dihadapi Indonesia dari adanya EUDR.
“Salah satu tantangannya adalah adanya perbedaan konsep mengenai wilayah hutan yang digunakan pada EUDR dengan yang di Indonesia. Dalam EUDR, definisi yang digunakan adalah definisi dari Food and Agriculture Organization (FAO), sedangkan di Indonesia menggunakan konsep hutan dari Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup (KLH), yang memiliki beragam kategori jenis hutan,” ujar Prof Suria.
Dr Musdhalifah Machmud, Staf Ahli Menteri Bidang Konektivitas, Pengembangan Jasa, dan Sumber Daya Alam, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian menyampaikan terkait lima hal yang menjadi perhatian pemerintah terkait dengan EUDR.
“Pertama, pemerintah terus mendorong Uni Eropa untuk mengembangkan basis data pusat penilaian risiko deforestasi melalui sistem tiga tingkat penilaian negara. Kedua, mendorong inklusivitas petani kecil dalam rantai pasok komoditas. Ketiga, memperbaiki skema sertifikasi agar bisa comply dengan EUDR. Keempat, Indonesia sedang mengembangkan dashboard nasional untuk menghimpun informasi komoditas berkelanjutan. Kelima, adalah perlindungan terhadap privasi data,” jelasnya.
Narasumber lainnya, Eddy Martono, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) memaparkan tentang upaya mitigasi yang bisa dilakukan untuk menghadapi EUDR. Menurut Eddy, penyelesaian aspek legalitas kebun petani sawit akibat keberadaan kebun mereka di kawasan hutan adalah hal yang sangat penting untuk dilakukan. “Tanpa legalitas ini, produk petani sawit tidak bisa masuk rantai pasok produk ekspor ke Uni Eropa,” tambahnya.
Sementara, Mardi Minangsari, Presiden Kaoem Telapak mengajak peserta untuk melihat EUDR sebagai suatu peluang. “EUDR dapat membantu mengurangi deforestasi dan emisi gas rumah kaca di Indonesia melalui potensi kontribusinya dalam mengintegrasikan inisiatif perdagangan minyak sawit berkelanjutan ke dalam strategi mitigasi perubahan iklim nasional,” pungkasnya.