Prof Rokhani: Teknologi VHT Menjadi Solusi Ekspor Hortikultura Tropika Indonesia
Mengingat posisi geografisnya, potensi hortikultura tropika Indonesia sangat besar. Namun, seringkali proses ekspor terkendala oleh hama lalat buah atau fruit fly dari famili Tephritidae. Pakar teknik pasca panen IPB University, Prof Rokhani mengungkapkan, teknologi Vapor Heat Treatment (VHT) dapat menjadi salah satu solusi dari sisi teknologi karantina untuk mengatasi hal tersebut.
Paparan mengenai teknologi VHT dijelaskan oleh Prof Rokhani dalam Konferensi Pers Pra Orasi Ilmiah Guru Besar secara daring pada Kamis, 25/02. Menurutnya, teknologi VHT dapat menjadi solusi yang pas untuk memenuhi persyaratan karantina bagi perdagangan global hortikultura yang berlaku di negara tujuan ekspor.
“Teknologi VHT merupakan cara tepat agar tidak merusak hasil hortikultura, terutama buah. Teknologi karantina untuk memberantas larva dan telur lalat buah terdiri dari fumigasi atau secara kimia, iradiasi, perlakuan dingin dan perlakuan panas atau metode VHT,” jelas Guru Besar Fakultas Teknologi Pertanian IPB University ini.
“Metode perlakuan panas ini lebih baik dibanding metode lainnya karena tidak merusak kualitas buah dan tidak adanya kekhawatiran residu kimia yang tertinggal,” terang sosok yang saat ini menjabat sebagai Wakil Kepala Science Techno Park (STP) IPB University ini.
Ia melanjutkan, parameter keefektifan prosesnya adalah suhu dan waktu paparan. Sementara targetnya ada dua yakni mortalitas lalat buah yang mencapai 100 persen dan mutu buahnya tidak rusak.
“Teknologi VHT dapat diterapkan untuk semua jenis buah-buahan tropika. Namun tetap terdapat faktor yang mempengaruhi yaitu varietas, ukuran dan bentuk, tingkat kematangan serta metode yang digunakan. Oleh karena itu dalam penerapannya perlu diteliti secara fruit by fruit,” lanjut dosen Program Studi Teknik Pertanian dan Biosistem ini.
Prof Rokhani menuturkan, penelitian teknologi VHT telah lebih dulu dilakukan di IPB University sejak tahun 2002. Hasilnya, mortalitas lalat buah Bactrocera papayae secara in-vitro mencapai 100 persen pada suhu 46 derajat celcius selama 10 menit.
Perlakuan ini juga tidak berpengaruh terhadap susut bobot, total padatan terlarut dan kekerasan, serta tidak menyebabkan kerusakan fisiologis.
“Karena sifat komoditas hortikultura mudah rusak, untuk memperpanjang masa simpannya perlu diberikan perlakuan lebih lanjut seperti pendinginan, pelilinan, penggunaan ethylene absorber atau ethylene inhibitor untuk menunda kematangan buah dan penerapan teknologi MAP (Modified Atmosphere Packaging) atau CAS (Controlled Atmosphere Storage),” ujarnya.
Lanjut Prof Rokhani, teknologi VHT ini dapat diterapkan pada level pedagang atau eksportir. Dari sisi pemerintah, penerapan teknologi VHT diawali dengan mengadakan unit VHT skala Laboratorium pada tahun 2018 di Balai Besar Peramalan Organisme Pengganggu Tumbuhan (BBPOPT) Jatisari.
“Kita perlu menciptakan kemitraan strategis di antara para pelaku agribisnis dengan melibatkan petani, pedagang pengumpul, eksportir maupun penyedia fasilitas penanganan pascapanen termasuk penguatan sistem transportasi, infrastruktur dan kelancaran proses ekspor. Dengan ini, daya saing hortikultura Indonesia dapat meningkat, terutama jika ingin memasuki pasar global,” tutupnya.