Departemen MSP FPIK IPB University Gelar International Workshop on Blue Carbon Economy and Policy
Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan (MSP), FPIK IPB University menyelenggarakan International Workshop on Blue Carbon Economy and Policy, 26/10. Workshop Internasional tersebut bertujuan untuk meningkatkan ketajaman kompetensi akademik Departemen MSP IPB University khususnya dalam konteks sains Blue Carbon Ecosystems Management and Governance, yang diperuntukan bagi mahasiswa dan dosen.
Workshop menampilkan narasumber yang kompeten di bidangnya, yakni Prof Chaterine Lovelock dari Queensland University (Australia), Dr Mari Mulyani dari Oxford University (UK), Dr Sali Bache dari Monash University (Australia) dan Dr Aan Johan Wahyudi dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Republik Indonesia.
Dalam sambutan pembukaan, Wakil Rektor IPB University Bidang Konektivitas Global, Kerjasama, dan Alumni, Prof Iskandar Zulkarnaen menyampaikan bahwa workshop ini merupakan bentuk kehadiran IPB University dalam menjawab salah satu isu global yaitu Ocean and Climate Changes. Hal ini karena Blue Carbon Ecosystem adalah satu tema sentralnya. Selain itu, workshop ini menunjukkan kuatnya peran IPB University dalam jejaring internasional antar saintis di bidang blue carbon ecosystem.
Ketua Departemen MSP, FPIK IPB University, Prof Hefni Effendi menyatakan bahwa workshop ini merupakan salah satu milestones penting Departemen MSP IPB University. Pasalnya, Departemen MSP IPB University sebagai salah satu departemen yang akan menjadi hub utama di bidang pengelolaan ekosistem karbon biru dan ekonomi biru di Indonesia.
“Workshop ini juga digunakan seoptimal mungkin untuk meningkatkan kerjasama internasional Departemen MSP IPB UNiversity dengan perguruan tinggi bereputasi dunia seperti Queensland University, Monash University, dan Oxford University serta lembaga riset bereputasi dunia seperti BRIN,” kata Prof Hefni.
Prof Fredinan Yulianda selaku Dekan FPIK IPB University mengatakan perkembangan ilmu pengetahuan terkait karbon pada ekosistem darat cukup baik. Namun, tidak demikian dengan perkembangan ilmiah tentang karbon di ekosistem perairan yang dikenal dengan istilah karbon biru (blue carbon).
Ia menyebut, karbon biru pada ekosistem perairan meliputi karbon pada ekosistem mangrove, ekosistem lamun (sea grass), dan rawa asin. Penghitungan karbon biru pada ekosistem mangrove dapat dilakukan dengan menggunakan metode destruktif atau metode alometrik. Namun, tidak semua jenis mangrove mempunyai rumus alometrik.
“Oleh karena itu, diperlukan sejumlah penelitian untuk membangun rumus alometrik pada sejumlah jenis mangrove yang belum memiliki formula alometrik. Selain itu, metode penghitungan karbon biru di padang lamun dan rawa asin masih jauh tertinggal sehingga memerlukan penelitian yang komprehensif,” kata Prof Fredinan.
Workshop dipandu oleh Guru Besar Departemen MSP FPIK IPB University, Prof Luky Adrianto sekaligus ketua pelaksana workshop internasional Blue Carbon Economy and Policy Departemen MSP.
Pada kesempatan ini, Prof Lovelock menyajikan paparan dengan tema tata kelola ekosistem karbon biru di Australia sekaligus menguatkan pentingnya “sciences inclusivity” dalam tata kelola dan kebijakan karbon biru. Sementara Dr. Mari Mulyani mengingatkan pentingnya keterlibatan masyarakat lokal dalam tata kelola ekosistem karbon biru terutama dalam konteks sharing benefits-nya.
Adapun Dr Bache menyampaikan beberapa tantangan nasional dan global dalam konteks inklusi sektor kelautan ke dalam Nationally Determined Contributions (NDC) Indonesia berikutnya. Sedangkan Dr Aan Johan Wahyudi sebagai salah satu pakar utama Indonesia dalam bidang karbon biru dalam paparannya memberikan updates terkait dengan sains karbon biru dan ekosistem karbon biru di Indonesia.