PPLH IPB University Ingatkan Pentingnya Integrasi Transisi Energi dengan Konservasi Ekosistem Daratan
Dalam mendukung upaya implementasi Nationally Determined Contributions (NDC) sebagai bagian dari mitigasi perubahan iklim, berbagai negara di dunia berkomitmen untuk mengembangkan energi berkelanjutan. Di sisi lain, produksi energi terbarukan memberikan risiko tinggi terhadap kerusakan ekosistem daratan dan penurunan keanekaragaman hayati.
Kepala Pusat Penelitian Lingkungan Hidup (PPLH) IPB University, Dr Yudi Setiawan menekankan bahwa pendekatan konservasi dalam transisi energi adalah suatu keniscayaan, beralih dari energi berbasis fossil fuel menuju energi bersih untuk pembangunan berkelanjutan.
“Tentunya, target transisi energi ini, dengan tetap menjaga konservasi ekosistem, khususnya konservasi ekosistem daratan,” kata dia saat acara seminar ‘Integrasi Transisi Energi dengan Konservasi Ekosistem Daratan’ di Ruang Auditorium Fakultas Kedokteran IPB University, belum lama ini.
Dr Yudi menambahkan, perlu adanya penyelarasan antara kebijakan dan konservasi keanekaragaman hayati dalam transisi energi untuk mengurangi risiko kerusakan terhadap ekosistem daratan. Valuasi ekonomi dinilainya juga menjadi hal penting untuk dilakukan agar ekosistem daratan dapat memiliki nilai penting dalam upaya transisi energi.
Pada seminar yang digelar PPLH IPB University bersama Environment Institute Indonesia (Enviro) dan Jaringan Ahli Perubahan Iklim dan Kehutanan (APIK) Indonesia Network itu, ikut hadir Staf Ahli Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Prof Haruni Krisnawati.
Prof Haruni memaparkan arah kebijakan sektor lingkungan hidup dan kehutanan untuk mendukung transisi energi. Ia menuturkan, kondisi saat ini mayoritas bauran energi primer pembangkit listrik di Indonesia masih berasal dari batubara (87,21 persen). Selebihnya berasal dari gas (15,96 persen) dan bahan bakar minyak (2,73 persen).
“Adapun bauran energi baru terbarukan (EBT) mencapai 14,11 persen. Ke depan target penggunaan EBT paling sedikit 23 persen pada 2025 dan paling sedikit 31 persen pada 2050,” pungkasnya.
Melanjutkan apa yang disampaikan oleh Prof Haruni, Dr Ucok WR Siagian dari Institut Teknologi Bandung (ITB) mengatakan bahwa target diversifikasi energi yang mengarah kepada pengurangan peran bahan bakar dari fossil fuel tidak hanya menyasar sektor kendaraan bermotor sebagai alat transportasi. Nantinya, sektor industri diharapkan secara perlahan akan menerapkan penggunaan energi ramah lingkungan yang berkelanjutan.
Menyambung hal tersebut, Chief Executive Officer (CEO) Enviro Indonesia, Dr Mahawan Karuniasa menyebutkan, kondisi pemanasan global dan anomali cuaca pada saat ini merupakan dampak penggunaan bahan bakar fosil yang tidak ramah lingkungan. Ia berpandangan bahwa perubahan persepsi masyarakat yang positif terhadap penggunaan sektor energi yang ramah lingkungan amat diperlukan. Hal itu karena akan mendukung integrasi implementasi NDC sektor energi dan konservasi ekosistem daratan.
Dalam kesempatan sama, Dosen IPB University dari Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (KSHE) Fakultas Kehutanan dan Lingkungan (Fahutan), Dr Nyoto Santoso menekankan perlunya dukungan dari pelaku usaha pemanenan sumber EBT terhadap keberadaan masyarakat untuk membantu menjaga keberlanjutan sumber daya energi.
“Sebagai contoh, konservasi sumber daya hutan diperlukan untuk menjaga hutan tetap hijau, yang juga memerlukan dukungan masyarakat. Jika hutan terjaga, sumber air dari hulu sebagai sumber energi bagi pembangkit listrik tenaga air (PLTA) akan tetap berkelanjutan,” paparnya.
Hal ini dibenarkan oleh Hadi Susilo, perwakilan dari manajemen PLTA Batang Toru. Menurutnya, daya listrik dari Sumber Daya Air (SDA) memiliki beberapa keunggulan, salah satunya menghasilkan energi ramah lingkungan tanpa menimbulkan pencemaran. “Energi tenaga air mendorong potensi konservasi air tanah sekaligus penghijauan untuk membangkitkan tambang air,” terangnya
Di sisi lain, pakar konservasi biodiversitas, Prof Jatna Supriatna menekankan perlunya kehati-hatian dalam mengelola potensi sumber EBT yang bersinggungan dengan kawasan konservasi. Hal itu mengingat bahwa Indonesia memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi di dunia. (*/Rz)