PKSPL IPB University dan PEMSEA: 40 Tahun Pengelolaan Pesisir Terpadu dan Perannya bagi Ekonomi Biru di Masa Depan

PKSPL IPB University dan PEMSEA: 40 Tahun Pengelolaan Pesisir Terpadu dan Perannya bagi Ekonomi Biru di Masa Depan

PKSPL IPB University dan PEMSEA: 40 Tahun Pengelolaan Pesisir Terpadu dan Perannya bagi Ekonomi Biru di Masa Depan
Berita

Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan (PKSPL) IPB University bersama Partnerships in Environmental Management for the Seas of East Asia (PEMSEA) menyelenggarakan Plenary Session Konferensi Internasional untuk Pengelolaan Pesisir Terpadu dan Bioteknologi Kelautan (4th ICMMBT). Dalam kegiatan ini, diungkapkan peran pengelolaan pesisir terpadu atau integrated coastal management (ICM) bagi ekonomi biru di masa depan.

“Pengelolaan pesisir terpadu atau integrated coastal management (ICM) telah memasuki usia 40 tahun sejak awal konsepnya dirumuskan pada tahun 1965. ICM akan terus berkembang dan bersiap untuk memasuki fase baru, yakni mewujudkan ekonomi biru secara berkelanjutan,” kata Aimee T Gonzales, Direktur PEMSEA atau Kemitraan untuk Pengelolaan Lingkungan di Asia Timur yang berbasis di Manila, Filipina pada acara 4th ICMMBT di Hotel Grand Inna Kuta, Bali beberapa waktu lalu.

Ia menjelaskan, pendekatan ICM merupakan sistem tata kelola dan tata laksana yang mengatur perilaku manusia untuk menjaga integritas fungsi ekosistem daratan dan lautan secara berkelanjutan. ICM bekerja pada beberapa level dan objek, yakni pembentukan legitimasi politik, pembangunan pengetahuan dan investasi teknis, pemenuhan norma-norma universal dalam pengelolaan pesisir, akuntabilitas tata kelola, serta mendorong kolaborasi/kemitraan.

“Dari kesemuanya, terdapat tiga kunci dalam keberhasilan ICM yakni koordinasi, integrasi dan adaptasi,” pungkas Aimee.

Prof Rokhmin Dahuri, Penasehat Utama PKSPL IPB University menegaskan bahwa ekonomi biru adalah babak baru untuk mencapai kesejahteraan manusia. Menurut dia, ICM sangat relevan untuk mewujudkan itu, karena konsep ini hendak memastikan bahwa pemanfaatan sumber daya pesisir menyandarkan pertimbangannya pada argumen sains dan keberlanjutan, bukan kegilaan pada pertumbuhan (growth mania).

“Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia dengan potensinya yang melimpah. Potensi dari sektor kelautan diperkirakan mencapai US$ 1,4 triliun per tahun atau 1,2 kali lebih besar daripada produk domestik bruto (PDB) nasional Indonesia pada tahun 2022 dan berpeluang membuka pekerjaan bagi 45 juta orang,” buka Prof Rokhmin.

Namun faktualnya, lanjut dia, kontribusi sektor kelautan tidak lebih dari 15 persen. Persentase tersebut kalah jauh dari negara dengan potensi lautnya lebih kecil namun kontribusinya mencapai lebih dari 30 persen.

“Terdapat empat akar masalah yang saat ini memunculkan fenomena negatif di pesisir Indonesia. Keempat akar rumput tersebut adalah jumlah populasi yang tinggi, perilaku manusia yang konsumtif dan destruktif, dua mata pedang teknologi dan minimnya/ketiadaan kebijakan/aturan yang spesifik yang mengatur tata kelola suatu wilayah pesisir.” akhir Prof Rokhmin Dahuri.

Tantangan di atas dipertegas kembali oleh Aimee Gonzales yang menyatakan bahwa ekonomi biru diarahkan untuk menjadi alternatif pendekatan guna menjawab beberapa persoalan. Misalnya seperti respon terhadap ancaman yang hanya business as usual; laut yang tidak sehat yang mengikis potensi ekonomi, penyediaan pangan, ketahanan pangan dan ketangguhan masyarakat; dan mengatasi relasi konfliktual antara perlindungan sumber daya laut dan pertumbuhan ekonomi.

“Ekonomi biru menyediakan ruang besar bagi inovasi, teknologi yang bersih, dan peluang pasar. Untuk itu, ICM dapat mengambil peran untuk mendorong munculnya kerangka tata laksana dan tata kelola sumber daya pesisir dan lautan menuju capaian-capaian dalam ekonomi biru tersebut,” tuturnya. (yop/Rz)