Pakar IPB University: Budaya dan Kearifan Lokal Jalan Kedaulatan Pangan

Pakar IPB University: Budaya dan Kearifan Lokal Jalan Kedaulatan Pangan

Pakar IPB University: Budaya dan Kearifan Lokal Jalan Kedaulatan Pangan
Berita

Prof Damayanti Buchori, Kepala Center for Transdisciplinary and Sustainability Sciences (CTSS) IPB University, memberikan pidato kebudayaan dalam Kongres Kebudayaan Indonesia tahun 2023, 24/10. Ia menyampaikan pidato berjudul ‘Sebuah Refleksi Sejarah, Pengetahuan dan Kemanusiaan: Suara dari Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.’

“Saya mengajak untuk menempatkan kearifan lokal dan kebudayaan sebagai jalan untuk transformasi sistem pangan negara kepulauan, dengan menghargai nilai keberagaman dan kedaulatan. Dari suara-suara masyarakat pesisir dan pulau kecil, kita bisa belajar untuk menemukan strategi dan peta jalan agar Indonesia sebagai bangsa mampu mewujudkan kedaulatan pangan yang sejati,” ujarnya.

Lebih lanjut, dalam perspektif kebudayaan dan kedaulatan pangan, Prof Damayanti menyampaikan hakikat bangsa Indonesia sebagai negara kepulauan. Ia menerangkan bahwa sistem pangan seharusnya didirikan di atas realitas keragaman bangsa.

“Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia. Memiliki 17.000 lebih pulau dengan ragam karakteristik sosial, ekologi dan budaya yang membentuk keragaman sistem pangan Indonesia,” kata Prof Damayanti, dosen IPB University dari Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian.

Dia melanjutkan, lahirnya pertanian di berbagai tempat telah menghasilkan “budaya-budaya” bertani yang berbeda-beda, khas dan spesifik. Budaya itu kemudian berkembang menjadi pengetahuan tradisional over the millennia. Contohnya adalah bunga dari Tanah Karo. Masyarakat lokal menyebutnya bunga dawa, yang lebih umum dikenal sebagai jewawut. Jewawut dikenal sebagai sumber karbohidrat sebelum masuknya padi di daerah tersebut.

Adapun kebudayaan lokal yang berkaitan dengan pangan di antaranya seperti Leuit dari Sunda dan Langkau dari Dayak sebagai lumbung untuk ketahanan pangan. Leuit dan Langkau digunakan oleh masyarakat setempat untuk menyimpan hasil pertanian seperti padi, jagung dan ubi.

Prof Damayanti juga menyebut tentang kedaulatan pangan dari pulau-pulau kecil di Indonesia. Ia mencontohkan adanya fenomena menarik yaitu adanya sekelompok masyarakat di Parahing Kambata Wundut Sumba Timur yang mengalami pengalaman berbeda ketika terjadinya ledakan belalang kembara. Komunitas adat ini masih memegang teguh kearifan lokal mereka yang bersandar pada adat Marapu. Mereka memiliki pranata adat untuk ritual dan pengorganisasian produksi yang khas.

“Mereka memiliki pranata adat untuk ritual dan pengorganisasian produksi yang khas. Adat Marapu menghargai semua yang eksis di dunia ini sebagai sesuatu yang hidup. Untuk itu, sebelum melakukan budi daya mereka harus berkomunikasi dengan Tuhan dan Leluhur mereka. Sedikitnya ada 10 ritual adat yang harus mereka lakukan dalam satu siklus budi daya padi di sawah mereka,” jelasnya.

Prof Damayanti mengatakan, penyeragaman sistem produksi, konsumsi, kebijakan dan program, serta indikator-indikator pembangunan pangan saat ini justru meminggirkan dimensi lokalitas dan keragaman sistem pangan di Indonesia. Hal itu telah menimbulkan kerentanan, lemahnya resiliensi, ketergantungan dan berbagai krisis kerusakan agroekosistem lokal beserta daya dukungnya.

“Keseragaman tersebut sangat kuat dipengaruhi oleh perspektif pengambil kebijakan dan juga para ilmuwan yang mengabaikan keragaman sistem pangan di Indonesia. Hal ini bisa kita periksa dari beberapa aspek terkait dengan sistem pangan kita,” kata dia.

Ia menegaskan bahwa transformasi sistem pangan harus dimulai dari pikiran. Cara pandang terhadap pangan. Prof Damayanti menyebut, bukankah manusia membutuhkan zat-zat gizi makro dan mikro untuk bisa hidup sehat dan berkualitas? Karena itu, menurutnya perlu swasembada karbohidrat yang bisa diperoleh dari ragam sumber pangan (tidak hanya beras), swasembada protein yang diperoleh dari ragam sumber protein dan seterusnya.

“Kita perlu mengeksplorasi lebih jauh keanekaragaman sumber-sumber pangan kita, melakukan inovasi dan melihat praktik-praktik masyarakat kita yang beragam dalam produksi pangan, keluar dari jebakan ekonomi komoditas tersebut,” tuturnya.