Prof Burhanuddin Masy’ud Jelaskan Pentingnya Konservasi Eksitu bagi Keberlanjutan Satwa Liar

Prof Burhanuddin Masy’ud Jelaskan Pentingnya Konservasi Eksitu bagi Keberlanjutan Satwa Liar

Prof Burhanuddin Masy’ud Jelaskan Pentingnya Konservasi Eksitu bagi Keberlanjutan Satwa Liar
Riset

Indonesia termasuk negara megabiodiversitas. Kekayaan hayati Indonesia ketiga terbesar di dunia, termasuk keanekaragaman satwa liarnya. Menurut pakar IPB University, Prof Burhanuddin Masy’ud kondisi tersebut mesti dijaga kelestarian, keberadaan dan pengembangan pemanfaatannya secara berkelanjutan.

Dalam Konferensi Pers Pra Orasi Ilmiah Guru Besar IPB University, Kamis (21/9) secara daring, Prof Burhan mengulas pentingnya konservasi eksitu dan penangkaran sebagai strategi pengawetan dan pemanfaatan satwa liar berkelanjutan.

Sebagai contoh, beberapa spesies burung yang memiliki nilai ekonomi tinggi, seperti jalak putih, kakatua raja, seringkali menjadi incaran untuk diburu di alam. Hal itu akan berpotensi mengancam kelestarian spesies di alam.

“Untuk menjamin kelestarian, selain dilakukan dengan konservasi insitu di habitat alaminya, untuk spesies yang laju pertumbuhan populasinya rendah dan kerusakan habitatnya tinggi, maka cara yang dilakukan adalah melalui konservasi eksitu dan upaya penangkaran di luar habitatnya,” ujar Prof Burhan.

Di samping itu, ia juga menjelaskan pendekatan untuk meningkatkan aktivitas reproduksi satwa di eksitu dapat dilakukan dengan pemanfaatan tumbuhan afrodisiak berbasis kearifan lokal untuk menstimulasi aktivitas reproduksi satwa. Afrodisiak merupakan makanan atau herbal yang diyakini dapat meningkatkan gairah seksual.

“Hasil percobaan kami bersama tim membuktikan bahwa pemberian kapsul bubuk daun sanrego (Lunasia amara) dan akar pasak bumi (Eurycoma longifolia) berhasil menstimulasi libido seksual dan aktivitas perkawinan pada rusa timor jantan. Di samping itu, pemberian kapsul bubuk daun tabat barito (Ficus deltoidea Jack) dapat merangsang estrus (birahi) dan perkawinan pada rusa timor betina,” paparnya.

Di lain sisi, lanjut Prof Burhan, pengembangan konservasi eksitu dan penangkaran satwa liar sebagai bagian dari strategi konservasi biodiversitas, harus memperhatikan prinsip filosofi dan etika konservasi yang telah menjadi komitmen komunitas global. Hal penting lainnya adalah prinsip etika dan kesejahteraan satwa (animal welfare and ethics)’ atau lazim dikenal dengan ‘lima hak kebebasan satwa’.

“Keberhasilan pengembangbiakan satwa di eksitu dan penangkaran juga telah terbukti berkontribusi positif terhadap perubahan status perlindungan lima jenis burung berkicau berubah menjadi jenis yang tidak dilindungi. Berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No 106 tahun 2016, lima burung tersebut meliputi cucak rawa, kucica hutan/murai batu, jalak suren, anis-bentet kecil, dan anis-bentet sangihe,” tuturnya.

Selain itu, ia mengatakan bahwa keberadaan sejumlah lembaga konservasi dan unit-unit penangkaran satwa liar, khususnya di Indonesia juga memberikan kontribusi yang berarti, dari segi ekologis, sosial ekonomi dan budaya. (Rz)