Guru Besar IPB University Ajukan Konsep Awal Penilaian Jasa Ekosistem ke KLHK

Guru Besar IPB University Ajukan Konsep Awal Penilaian Jasa Ekosistem ke KLHK

Guru Besar IPB University Ajukan Konsep Awal Penilaian Jasa Ekosistem ke KLHK
Riset

Saat ini Direktorat Pemanfaatan Jasa Lingkungan Kawasan Konservasi, Direktorat Jenderal Konservasi Sumberdaya Alam dan Ekosistem (KSDAE), KLHK, sedang merancang suatu upaya penilaian jasa lingkungan sebagaimana penilaian kinerja kualitas lingkungan yang diungkapkan melalui IKLH (Indeks Kualitas Lingkungan Hidup) yang sudah terlebih dahulu diformulasikan oleh Direktorat Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan (PPKL) KLHK.

“Dengan adanya data IKLH maka dapat dilihat kecenderungan kualitas lingkungan secara temporal (dari waktu ke waktu) dan spasial (pada berbagai tempat). IKLH juga dapat menggambarkan sejauh mana upaya yang dilakukan dalam menjaga kualitas air sungai, danau, dan lain sebagainya,” ujar Prof Hefni Effendi, Ketua Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan (MSP) FPIK IPB University.
Prof Hefni menerangkan, penilaian serupa diharapkan dapat dilakukan terhadap jasa lingkungan atau jasa ekosistem. Menurutnya, jasa ekosistem dimaknai sebagai manfaat (tangible dan intangible) yang diberikan kepada manusia melalui transformasi sumberdaya atau aset lingkungan hidup, termasuk tanah, air, tumbuhan dan atmosfer, menjadi arus barang dan jasa, seperti udara bersih, air, dan pangan.

Adapun Jasa ekosistem (ecosystem services) mencakup jasa penyediaan (provisioning) yakni sejumlah jasa yang dapat dipanen atau dimanfaatkan secara langsung. Jasa maupun produk yang dapat dipanen seperti kayu, air bersih, dan hasil hutan. Jasa pengaturan (regulating) mencakup jasa yang disediakan oleh ekosistem dalam mengatur penyediaan air bersih, penyerbukan tanaman, pengaturan iklim, penyimpan karbon (carbon storage). Jasa kultur (cultural) berupa jasa keindahan (estetika), kenyamanan, religious. Jasa penyokong (supporting), berupa jasa yang memungkinkan berjalannya ekosistem tersebut yang mencakup jasa siklus nutrien, penyediaan tanah yang subur.

“Jasa penyimpan karbon (carbon storage) di kawasan hutan terrestrial sudah cukup banyak diteliti dan sudah terdapat mekanisme perdagangan karbon (carbon trading), yang salah satu concern-nya adalah kemampuan hutan alam di kawasan konservasi dalam menyerap emisi karbon yang dilepaskan oleh aktivitas antropogenik, dan menyimpannya sebagai cadangan carbon (carbon storage),” kata Prof Hefni Effendi, dosen IPB University.

Ia menerangkan, belakangan ini mulai berkembang konsep blue carbon, berupa karbon yang diserap dan disimpan oleh tumbuhan yang berkaitan dengan laut. Beberapa ekosistem yang dapat menyimpan karbon seperti ekosistem hutan mangrove, ekosistem rawa asin pesisir (salt marshes) dan ekosistem padang lamun (sea grass).

“Keilmuan tentang blue carbon inilah yang saat ini secara intensif dikembangkan oleh Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan (MSP) FPIK IPB University dan sekaligus sebagai salah satu kompetensi yang harus dikuasai oleh para mahasiswa MSP IPB University,” kata Prof Hefni Effendi.

Ia melanjutkan, berbagai macam jasa ekosistem inilah yang hendak dikuantifikasi dan dinilai kecenderungannya secara temporal dan spasial. Mengingat luasnya spektrum jasa ekosistem, katanya, maka konsep dasar penilaian jasa ekosistem perlu dirumuskan terlebih dahulu. Hal ini karena jasa ekosistem ada yang bersifat tangible (berwujud dan dapat dimanfaatkan secara langsung), dan intangible yang tak dapat dimanfaatkan secara langsung dan butuh effort tambahan untuk mengkuantifikasi.

Prof Hefni Effendi menjelaskan, jasa intangible tidak berwujud, namun dapat dirasakan kebermanfaatannya secara nyata. Jasa ekosistem yang secara jelas berwujud adalah jasa penyediaan (provisioning) karena dapat dipanen secara langsung. “Sementara itu jasa pengaturan (regulating), kultur (cultural), dan penyokong (supporting) adalah bentuk jasa ekosistem yang manfaatnya tidak dapat kita panen secara langsung. Namun kita rasakan faedahnya secara signifikan,” katanya.

“Oleh karena itu, dalam konsep penilaian jasa ekosistem, apakah keempat jasa ekosistem tersebut yang hendak dinilai ? Atau hanya jasa tangible saja yang akan dikuantifikasi ? Nah inilah yang perlu dirumuskan terlebih dahulu,” tambah Prof Hefni Effendi.

Menurutnya, perlu kajian literatur yang intensif, brainstorming para pakar, serta benchmarking ke negara-negara yang terlebih dahulu punya konsep penilaian jasa ekosistem. “Dengan demikian tatkala negara kita memiliki mekanisme penilaian jasa ekosistem (∞lingkungan), maka hasilnya bisa diperbandingkan dengan negara lain, karena telah menggunakan platform atau basis variabel penilaian yang serupa,” kata Prof Hefni Effendi.