Dosen IPB University Tanggapi Isu Kondisi Udara Bogor yang Memburuk

Dosen IPB University Tanggapi Isu Kondisi Udara Bogor yang Memburuk

Dosen IPB University Tanggapi Isu Kondisi Udara Bogor yang Memburuk
Berita

Dr Rini Hidayati, pakar biometeorologi dari IPB University menyoroti polusi udara di Bogor yang memburuk. Ia mengatakan, pengaturan lalu lintas yang tepat menjadi salah satu kunci untuk menurunkan sumber polusi udara di Bogor. Ia juga menyebut, kondisi Indonesia yang memasuki musim kemarau juga menyebabkan polusi udara meningkat karena proses pencucian oleh hujan sangat kurang. Sementara, jumlah polutan terus bertambah, mengakibatkan kualitas udara Bogor memburuk walaupun kondisinya bukan yang terparah di Indonesia.

“Pencucian oleh hujan tidak signifikan karena curah hujan rendah, sedangkan sumber polutan tetap ada. Di Kota Bogor, sumber terbesar berasal dari lalu lintas kendaraan berbahan bakar fosil,” kata Dr Rini Hidayati, dosen IPB University dari Departemen Geofisika dan Meteorologi.

Ia menyebut, kendaraan Biskita yang ditujukan untuk menggantikan angkot jumlahnya juga belum signifikan. Di sisi lain kondisi lalu lintas Bogor lebih semrawut dibandingkan beberapa tahun sebelumnya.

“Perlu ada pengaturan lalu lintas yang lebih tepat sehingga kendaraan tidak menumpuk di satu lokasi yang menyebabkan kemacetan yang dapat menambah polutan di udara, misalnya dengan penerapan kembali jumlah angkot yang beredar bergantian siang atau malam, car free day, dan upaya meningkatkan kedisiplinan pengendara,” katanya.

Dosen IPB University itu menerangkan, saat pandemi tidak ada musim kemarau yang kering karena bersamaan dengan periode La Nina. Saat ini musim kemarau diperparah oleh peristiwa El Nino sehingga terjadi kemarau kering dibandingkan kondisi normalnya. Tidak hanya itu, angin laut siang hari dari wilayah pantai barat dan utara Jakarta akan melewati Cibinong, Citeureup, Gunung Putri, dan sekitarnya menuju ke jajaran gunung yang mengelilingi kota Bogor. Hal ini memungkinkan membawa polutan ke kota dan kabupaten Bogor.

Berdasarkan pengamatannya, pada bulan Agustus 2023 tercatat konsentrasi bahan partikulat cukup tinggi, terutama PM2,5 yang sangat sering berada pada kondisi kurang sehat untuk kalangan yang sensitif. PM2,5 dapat menembus sistem pernafasan hingga masuk ke paru-paru. Kondisi ini meningkatkan potensi kenaikan kasus pneumonia dan infeksi saluran pernapasan (ISPA) terutama pada balita dan lansia.

Pada kasus kelembaban udara tinggi, kata Dr Rini, polutan ini dapat bersifat sebagai inti higroskopis dalam pembentukan awan sehingga meningkatkan potensi hujan. Tetapi saat ini kelembaban udara tidak cukup tinggi untuk membentuk awan yang potensial. Sementara, sumber polutan terus ada, jadi saat ini partikel tetap berada di udara menjadi polutan padahal hujan yang turun kurang cukup untuk mencuci polutan. Hasil pengukuran udara di IPB Baranangsiang menunjukkan setelah selesai hujan, konsentrasi polutan terutama PM2,5 masih meningkat kembali.

Ia menjelaskan, penyebab polusi lainnya adalah limbah pabrik dan pembakaran sampah juga merupakan sumber polutan di udara. Menurutnya, membuang limbah atau membakar sampah di malam hari akan menyebabkan polutan terkonsentrasi di sekitar pembuangan limbah. Jika pembuangan limbah dilakukan di siang hari, polutan akan terencerkan ke atas dan tersebar di wilayah yang lebih luas.

“Akan lebih baik jika limbah diolah terlebih dahulu, sebagai contoh membakar sampah dalam incinerator dan menyaring asap pembuangan pabrik sebelum dibuang ke udara,” kata Dr Rini, peneliti Pusat Pengelolaan Risiko dan Peluang Iklim (CCROM) IPB University.

Berdasarkan pengamatan Pusat Pengelolaan Risiko dan Peluang Iklim (CCROM) IPB University, konsentrasi karbon dioksida di atmosfer juga sudah menembus angka 400ppm. Selain kualitas udara yang memburuk, kualitas atmosfer yang mempengaruhi iklim juga perlu diwaspadai agar iklim tetap bersahabat dengan kehidupan manusia.

“Saat ini kita, khususnya di wilayah indonesia bagian selatan yang kondisi iklimnya
dipengaruhi oleh El Nino, harus tetap waspada karena musim kemarau masih cukup panjang, mungkin pada bulan November hujan baru cukup memperbaiki kualitas udara,” kata Dr Rini. (mw/ra)