Dewan Guru Besar IPB University: Pangan Nonkonvensional Kunci Revolusi Pangan 50.0

Dewan Guru Besar IPB University: Pangan Nonkonvensional Kunci Revolusi Pangan 50.0

Dewan Guru Besar IPB University: Pangan Nonkonvensional Kunci Revolusi Pangan 50.0
Berita

Pangan nonkonvensional terus menjadi fokus bagi para ilmuwan untuk mengatasi angka kelaparan dan perubahan iklim. Pengganti pangan nabati dan hewani tersebut dinilai menjadi kunci salah satu revolusi pangan 50.0. Untuk mengulas hal itu, Dewan Guru Besar (DGB) IPB University mengurai peta revolusi pangan 50.0 dari aspek gizi dan sosial.

Dalam focus group discussion (FGD) bertajuk ‘Aspek Sosial dan Kesehatan Pangan Masa Depan: Peta Revolusi Pangan 50.0’, Prof Sri Anna Marliyati, Guru Besar IPB University mengatakan, para ilmuwan sudah lebih dulu mengembangkan pangan pengganti daging berbasis nabati seperti kacang polong dan kedelai.

“Daging analog ini memiliki keistimewaan di antaranya nilai gizinya lebih baik, rendah kolesterol dan lemak, lebih homogen dan lebih awet disimpan,” katanya.

Prof Sri menambahkan, selain kacang-kacangan, pangan nonkonvesional berbasis nonnabati seperti jamur dan mikroalga perlu menjadi pertimbangan. Karena selain dari nilai gizinya yang istimewa, bisa juga menjadi pangan fungsional.

Prof Nurjanah, Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB University juga menyatakan bahwa salah satu pangan fungsional tersebut dapat didapat dari rumput laut. Terlebih jenis rumput laut coklat dan merah belum banyak dimanfaatkan secara optimal. Padahal kandungannya tinggi serat dan antioksidan.

“Rumput laut dapat menjadi potensi besar untuk diolah menjadi garam yang rendah natrium. Garam ini dapat mengurangi risiko penyakit kardiovaskular akibat konsumsi natrium yang berlebihan,” terang Prof Nurjanah.

Dari sisi kehalalan pangan nonkonvesional diulas oleh Prof Nancy Dewi Yuliana, Guru Besar IPB University dari Fakultas Teknologi Pertanian. Menurutnya, aspek kehalalan produk pangan nonkonvesional sangat penting karena terkait dengan penerimaannya oleh masyarakat.

“Inovasi pangan nonkonvensional perlu analisis dan penilaian status halalnya dengan segera, sehingga pihak konsumen dan produsen dapat mengambil manfaat secara maksimal, mengingat konsumen muslim sangat potensial dari segi jumlah,” ia menuturkan.

Prof Nancy menyebutkan upaya ini memerlukan komunikasi yang jelas dan intensif antara konsumen, peneliti, ulama dan industri. “Konsumen dan peneliti perlu mengkritisi potensi risiko nonhalal dalam setiap kemajuan teknologi pangan dan proaktif berkomunikasi dengan ulama untuk dicarikan solusinya berupa fatwa,” lanjutnya.

Fatwa ini, kata dia, perlu disosialisasikan kepada para peneliti dan pelaku usaha industri sebagai panduan dalam memodifikasi bahan atau proses sehingga status kehalalannya lebih jelas. (MW/Rz)