Prof Dewi Sukma Lakukan Persilangan Anggrek Phalaenopsis

Pakar Anggrek IPB University, Prof Dewi Sukma melakukan persilangan anggrek Phalaenopsis, salah satu jenis yang diminati para pecinta anggrek. Beberapa genotipe hasil persilangan tersebut telah didaftarkan dengan nama Phalaenopsis (Phal) Venera IPB, Phal Mentari IPB, Phal Kirana IPB dan Phal Humaira IPB.
Berbagai penelitian dalam pengembangan anggrek ia lakukan dalam upaya mendorong pengembangan jenis anggrek yang diminati pasar. Pasalnya, sebagian besar anggrek untuk pasar di Indonesia diimpor dari Thailand (61,66 persen) dan Taiwan (35,28 persen). Thailand merupakan produsen dan eksportir utama untuk Dendrobium dan Vanda, sedangkan Taiwan produsen dan eksportir utama untuk Phalaenopsis.
“Impor yang tinggi di Indonesia menunjukkan peluang pasar anggrek dalam negeri cukup tinggi dan belum dapat dipenuhi dari produsen dalam negeri. Dengan demikian, peningkatan produksi bibit anggrek dalam negeri dengan jenis yang memenuhi selera pasar masih perlu ditingkatkan,” ujar Prof Dewi saat menjelaskan penelitiannya dalam acara Konferensi Pers Pra Orasi Ilmiah Guru Besar IPB University melalui Zoom Meeting, Rabu (27/7).
Turunan anggrek yang dihasilkannya tu memiliki karakter novelty dan beraroma wangi, namun persilangan dengan spesies tidak dapat menghasilkan bunga yang besar sebagaimana yang menjadi favorit di pasar anggrek. Turunan hibrida antarspesies atau persilangan hibrida dengan spesies yang masih berbunga kecil tersebut perlu ditingkatkan ukurannya melalui pendekatan bioteknologi in vitro.
Tidak hanya itu, penelitian anggrek dengan persilangan antar hibrida berbunga besar juga dilakukan untuk mendapatkan turunan yang berbunga besar. Salah satu persilangan yang dilakukan adalah antara Phal ‘Timothy Christopher’ x Phal ‘Leopard Prince’. Salah satu genotipe turunan persilangan tersebut telah didaftarkan dengan nama Phal ‘Safira IPB”.
Pada konferensi pers itu, Prof Dewi memaparkan materi ‘Bioteknologi Seluler dan Molekuler untuk Mendukung Pemuliaan dan Penyediaan Bibit Anggrek Phalaenopsis’. Menurutnya, pendekatan bioteknologi sangat diperlukan dalam mendukung pemuliaan anggrek.
“Perbanyakan anggrek dari penyemaian benih hingga pembesaran bibit membutuhkan laboratorium kultur jaringan in vitro. Perkecambahan biji anggrek di alam membutuhkan bantuan mikroba simbiotik. Media kultur jaringan in vitro di laboratorium dapat menggantikan peran mikroba simbiotik bahkan meningkatkan keberhasilan perkecambahan,” terang dia.
“Optimasi media perkecambahan benih di laboratorium untuk Phalaenopsis sudah dilakukan, sehingga dapat mendorong perkecambahan dan pertumbuhan bibit menjadi lebih baik untuk menghasilkan bibit bermutu. Berbagai pendekatan lain melalui bioteknologi tanaman dapat dilakukan untuk mendukung pengembangan anggrek,” sambungnya lagi.
Prof Dewi mengungkap, beberapa kendala yang dihadapi dalam pengembangan anggrek di Indonesia yaitu keterbatasan jumlah pemulia untuk pengembangan varietas baru. Lambatnya masalisasi produk juga menjadi kendala untuk menempatkan anggrek-anggrek yang dihasilkan dalam memenuhi kebutuhan pasar.
“Ditambah lagi ketergantungan pada sarana pendukung produksi yang masih harus diimpor, serta perlunya investasi besar dalam usaha agribisnis anggrek. Anggrek juga membutuhkan waktu yang lama (6-7 tahun) untuk menghasilkan varietas baru,” ungkap dia.
Karena itu, sebut dia, dibutuhkan passion, ketekunan, modal, kesabaran, konsistensi dan endurance untuk mengembangkannya. “Dukungan bersama berbagai pihak untuk mendorong pengembangan anggrek Indonesia sangat dibutuhkan,” tutup Prof Dewi. (dh/Rz)