Sustainable Blue Financing: PKSPL IPB University Bersama Bappenas dan ICCTF Sambangi GBRMPA

Sustainable Blue Financing: PKSPL IPB University Bersama Bappenas dan ICCTF Sambangi GBRMPA

sustainable-blue-financing-pkspl-ipb-university-bersama-bappenas-dan-icctf-sambangi-gbrmpa-news
Riset

Keberlanjutan pendanaan biru atau yang dikenal dengan sustainable blue financing (SBF) menjadi salah satu desain yang perlu dikembangkan dalam pembangunan berkelanjutan berbasis blue ekonomi. Kepala Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan (PKSPL) IPB University, Dr Yonvitner menilai, pembangunan biru berbasis sumber daya alam merupakan bentuk pilihan pembangunan menuju Indonesia Emas 2045 yang harus dikembangkan secara hati-hati.

“Praktik pembangunan tidak sekedar menekankan pada aspek pendapatan negara, tetapi keberlanjutan generasi yang akan datang. The future generation health, demikian visi yang harus dibangun sebagai implementasi dari Indonesia Emas,” ungkapnya.

Praktik pembangunan berbasis ekonomi biru yang berkelanjutan menjadi salah satu pilihan baru (emerging economy). Yang saat ini paling banyak berkembang adalah praktik ekonomi terkait kawasan konservasi. Jika selama ini kawasan konservasi dianggap sebagai kawasan yang tidak boleh dijamah, maka sekarang konservasi harus akomodatif dimanfaatkan. 

“Namun, konsepnya tetap selaras dengan kawasan konservasi, bukan mengubah ataupun merestrukturisasi kawasan konservasi tersebut dengan pendekatan fisik seperti reklamasi atau pun dekonstruksi ekosistem,” sebut Dr Yonvitner. 

Dari pemikiran tersebut, maka praktik-praktik yang sudah berkembang tersebut menjadi sebuah atraktan bagi pengembangan kawasan konservasi Indonesia. Pertimbangan ini kemudian yang mendasari pemerintah melalui Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Kementerian PPN/Bappenas) RI bersama Indonesia Climate Change Trust Fund (ICCTF) yang didampingi PKSPL IPB University melakukan workshop bersama dengan Great Barrier Reef-Marine Protected Area (GBRMPA) belum lama ini di Townsville, Negara Bagian Queensland, Australia.

Kegiatan tersebut salah satunya menekankan pada praktik-praktik sustainable financing. Josh Thomas Reef Authority, Chief Executive Officer (CEO) GBRMPA mengatakan, keberlanjutan pembiayaan dalam kaitanya dengan konservasi laut harus mengedepankan tata kelola yang baik (good governance). 

Josh Thomas menyampaikan bahwa GBR luasnya mencapai 70 juta lapangan bola atau seluas 344.400 km2 dan panjang 2.300 km. GBR juga menjadi world heritage area (WHA).

“Keberadaan GBRMPA terkait dengan tujuan ekologi, kenyamanan publik, perlindungan laut, serta sumber daya hayati lainya. Ada 13 tools manajemen yang menjadi bagian dari tata kelolanya, mulai aturan, zonasi, management plan, perizinan yang terukur, kepatuhan, pendapatan, kebijakan operasional, kepemilikan masyarakat lokal , pendidikan, stewardship, penelitian dan monitoring, pelaporan dan kelengkapan site infrastructure,” ujar Josh.

Kawasan GBRMPA dihuni oleh lebih dari 3.000 jenis terumbu karang, 600 pulau, 1.625 jenis ikan, 133 jenis ikan hiu dan 600 jenis hard dan soft coral. Menurutnya, tata kelola sumber daya yang baik akan memberikan nilai ekonomi yang baik pula. Berdasarkan data pembiayaan dari GBRMPA tahun 2021, pendapatan langsung yang diperoleh mencapai Rp 319,5 miliar setara dengan Rp 139,9 juta per km panjang area konservasi atau Rp 927.816 per km2 area konservasi.

Sedangkan pembiayaan total berasal dari dukungan negara, kontribusi dari para pengguna kawasan mencapai Rp 1,198 triliun per tahun. Semua dukungan pembiayaan ini dialokasi untuk pengelolaan GBRMPA. Nilai alokasi pembiayaan mencapai Rp 521 juta per km panjang kawasan atau Rp 3,48 juta per km persegi kawasan. Pendapatan ini belum termasuk jasa kelautan seperti ikan tangkapan di wilayah MPA, bioteknologi industri, share income pada masyarakat seperti penyewaan fasilitas masyarakat, di antaranya homestay, penyewaan kapal, jasa pemanduan, jasa transportasi dan berbagai emenitis lainya.

Dr Yonvitner menambahkan, “Ketika kita akan mengimplementasikan pembangunan dan pembiayaan ekonomi biru secara berkelanjutan, maka perlu dipersiapkan sistem tata akuntansinya. Dalam beberapa praktik dikenal sebagai Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) biru yang akan memberikan neraca keuangan, belanja dan sustainability pengelolaan kawasan konservasi.” 

“Berbekal hasil dari pertemuan ini, sesungguhnya Indonesia memiliki potensi yang sangat besar. Praktik saat ini lebih dari 23 juta hektare kawasan konservasi Indonesia dan tahun 2045 mencapai 30 juta hektare sudah dimiliki Indonesia,” imbuh dia.

Artinya, lanjut Dr Yonvitner, jika angka kemampuan capaian dari GBR sekitar 50 persen saja, maka setidaknya Indonesia akan mampu menghasilkan 400,2 miliar per tahun (2023) atau 522 milyar pada tahun 2045 tanpa praktik reklamasi. Nilai ini akan meningkat dua kali lipatnya menjadi 800,4 miliar sampai 1,044 triliun ketika kualitas kawasan konservasi makin membaik. Sekali lagi, dalam praktik ini tidak termasuk kegiatan yang berbau reklamasi atau perubahan atau penambangan di kawasan konservasi.
 
“Mempertimbangkan potensi pembiayaan ekonomi biru berkelanjutan bukan tidak mungkin Indonesia akan menjadi negara maju dengan sumber daya kelautannya. Tumbuh tanpa merusak ekosistem, tanpa memporakporandakan kawasan konservasi, maka kita akan bisa maju dengan sumber daya alam yang berkelanjutan. Bukan tidak mungkin ekonomi biru dapat menyejahterakan masyarakat. Karena kalkulasi di atas belum memperhatikan nilai jasa yang langsung diterima masyarakat,” pungkasnya. (*/Rz)