Mahasiswa IPB University Ungkap Hasil Temuan Studi Restorasi Terumbu Karang Spermonde Archipelago di NUS

Mahasiswa IPB University Ungkap Hasil Temuan Studi Restorasi Terumbu Karang Spermonde Archipelago di NUS

mahasiswa-ipb-university-ungkap-hasil-temuan-studi-restorasi-terumbu-karang-spermonde-archipelago-di-nus-news
Student Insight

Mahasiswa pascasarjana IPB University dari Program Studi Ilmu Kelautan (IKL), Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) membagikan temuannya dalam ajang the 5th Asia-Pacific Coral Reef Symposium (APCRS) 2023. Acara yang dilaksanakan di National University of Singapore (NUS) pada pertengahan Juni lalu menjadi platform bagi kedua mahasiswa IPB University, Rindah Talitha Vida dan Cut Aja Gita Alisa, untuk membagikan hasil riset mereka dalam upaya mendukung kegiatan restorasi terumbu karang.

Penelitian yang dilakukan Rindah dan Gita merupakan riset kolaboratif antara IPB University, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Universitas Hasanuddin, Lancaster University dan Montpellier University. Di bawah bimbingan Dr Tries Razak (BRIN) dan Dr Beginer Subhan (IPB University), mereka dengan percaya diri memaparkan penelitiannya yang dilakukan dengan sejumlah pendekatan.

Rindah dalam presentasinya yang bertajuk Assessing Coral Reef Restoration Success by Quantifying Three-Dimensional Habitat Complexity in Spermonde Archipelago, Indonesia menggunakan metode fotogrametri untuk menilai efektivitas upaya restorasi dalam memulihkan fungsi ekologis habitat terumbu karang melalui nilai kompleksitas struktural.

Rindah menyebutkan, dalam kondisi ekosistem terumbu karang yang sehat, struktur fisik terumbu karang memiliki tingkat kompleksitas yang tinggi dibandingkan dengan ekosistem yang mengalami degradasi. Hal ini menyebabkan tingkat rugositas, yang mencerminkan ketidakseragaman bentuk relief atau ketidakteraturan topografi terumbu karang menjadi rendah.

“Nilai rugositas yang tinggi mengindikasikan kondisi terumbu karang yang semakin sehat. Artinya karang tumbuh dengan baik dan memiliki banyak variasi bentuk koloni tutupan terumbu karang sehingga membentuk topografi yang kompleks. Tentunya hal ini akan sangat berkaitan erat dengan kelimpahan biota yang biasa ditemui di sekitar terumbu karang seperti ikan, karena melimpahnya polip karang sebagai sumber makanan,” ungkap Rindah.

Bertempat di Pulau Bontosua, Kepulauan Spermonde, Sulawesi Selatan, Rindah juga menyebutkan adanya upaya restorasi yang dilakukan untuk memperbaiki ekosistem terumbu karang di pulau tersebut. Upaya restorasi tersebut terbilang sukses karena menunjukkan nilai rugositas yang tinggi pada ekosistem karang yang telah direstorasi.

Di sisi lain, Gita memaparkan hasil temuannya bertajuk Quantifying the Aesthetic Value of Highly Maintenance Restored Coral Reefs in Indonesia di lokasi yang sama dengan Rindah. Gita menyebutkan bahwa salah satu jasa yang diberikan oleh ekosistem terumbu karang kepada manusia dikenal sebagai jasa ekosistem budaya (cultural ecosystem services). “Ketika kita menyelam di situs-situs terumbu karang yang indah, kita akan merasa senang, puas, kagum. Nah, itu yang kita sebut sebagai jasa ekosistem budaya,” jelas Gita.

Gita melanjutkan, kerusakan ekosistem terumbu karang akan menurunkan nilai jasa ekosistem, sehingga diperlukan upaya restorasi untuk memperbaiki ekosistem terumbu karang. Ia menyebut, Mars Assisted Reef Restoration System (MARSS) merupakan metode pemulihan jangka panjang yang kuat dan terukur. Metode ini mampu membangun kembali terumbu karang dengan cepat, sangat terpelihara dan sangat dipantau. Dengan menggunakan algoritma deep learning untuk menghasilkan model evaluasi nilai estetika dan warna yang tepat.

“Temuan ini menunjukkan bahwa ekosistem karang yang tergradasi memiliki nilai estetika yang lebih rendah. Pada ekosistem karang yang telah direstorasi, nilai estetika terlihat lebih tinggi bahkan hampir menyerupai ekosistem karang yang sehat,” jelas Gita.

Dr Beginer Subhan, dosen pembimbing kedua mahasiswa tersebut sekaligus peneliti karang Indonesia merasa senang mahasiswa pascasarjana IPB University ini diberi kesempatan untuk melakukan penelitian bersama pakar-pakar restorasi dunia.

“Riset ini sangat menarik dan belum banyak dilakukan di Indonesia. Tentu di masa mendatang, kolaborasi dan riset serupa dapat direplikasi di lokasi lain di Indonesia,” tutup Dr Beginer. (*/Rz)