Izin Ekspor Pasir Laut Jadi Polemik, IPB University Gelar Kajian Strategic Talks

Izin Ekspor Pasir Laut Jadi Polemik, IPB University Gelar Kajian Strategic Talks

izin-ekspor-pasir-laut-jadi-polemik-ipb-university-gelar-kajian-strategic-talks-news
Berita

Terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut telah memunculkan kontroversi. Pokok persoalannya adalah adanya pasal yang mengizinkan ekspor pasir laut ke luar negeri. Menanggapi hal ini, Direktorat Kajian Strategis dan Reputasi Akademik (DKSRA) IPB University menyelenggarakan The 40th IPB Strategic Talks: Polemik Pengelolaan Hasil Sedimentasi Laut (PP No 26 Tahun 2023), belum lama ini.

“IPB University memiliki perhatian besar di bidang agromaritim sehingga merasa terpanggil untuk membuka diskusi mengenai pembukaan kembali ekspor pasir laut melalui PP Nomor 26 Tahun 2023 ini,” ujar Prof Ernan Rustiadi selaku Wakil Rektor IPB University  bidang Riset, Inovasi dan Pengembangan Agromaritim dalam pengantar diskusi.

Ia berharap kegiatan diskusi ini bisa menjadi mimbar akademik dan ruang debat, bahwa semua orang memiliki hak yang sama untuk menyampaikan argumentasinya selama masih dalam koridor ilmiah.

Parid Ridwanuddin, Manajer Kampanye Pesisir dan Laut, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Eksekutif Nasional menyatakan, PP Nomor 26 Tahun 2023 tidak memiliki urgensi sama sekali untuk terbit, apalagi membuka keran ekspor pasir laut. Menurutnya, jika PP tersebut dibuat untuk mengatasi persoalan sedimentasi, harusnya bersifat penanganan hulu-hilir, karena penyebab sedimentasi ada di hulu.

“Penumpukan sedimentasi di laut yang terjadi banyak disebabkan oleh kegiatan yang dilakukan di daratan. PP ini hanya berfokus pada fenomena penumpukan sedimentasi di hilir (laut) sedangkan kegiatan di darat yang menyebabkan sedimentasi tidak diperhatikan,” ujarnya.

Parid juga menyatakan kekhawatirannya terhadap legalnya penambangan pasir dari kebijakan ini. Jika penambangan pasir benar-benar dilakukan, maka ke depannya akan menyebabkan kerusakan lingkungan yang merugikan masyarakat luas. “Salah satu kekhawatiran terbesar dari adanya penambangan pasir adalah nasib pulau-pulau kecil di Indonesia yang terancam tenggelam,” imbuhnya.

Sementara itu, Miftahul Huda, Direktur Jasa Kelautan, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menjelaskan latar belakang lahirnya PP Nomor 26 Tahun 2023 adalah fenomena rusaknya terumbu karang. Hasil sedimentasi laut, seperti pasir dan lumpur, menyebabkan tertutupnya terumbu karang yang berujung pada rusaknya terumbu karang tersebut. Hal ini akan menyebabkan turunnya daya dukung dan daya tampung ekosistem pesisir serta kesehatan laut. PP Nomor 26 Tahun 2023 kemudian dibuat  sebagai peraturan untuk mengantisipasi kerusakan yang lebih parah terhadap terumbu karang dan sebagai upaya untuk meningkatkan daya dukung dan kesehatan laut Indonesia.

“Hasil penambangan sedimentasi laut juga tidak hanya untuk kebutuhan ekspor dan  reklamasi dalam negeri, tetapi juga untuk pembangunan infrastruktur pemerintah dan pembangunan prasarana oleh pelaku usaha seperti yang telah tertera pada PP Nomor 26 Tahun 2023 Pasal 9 ayat (2),” ujar Huda.

Huda menambahkan bahwa pasir dan lumpur sebagai hasil sedimentasi laut perlu dikelola agar lebih bermanfaat. Manfaat dari pengelolaan hasil sedimentasi laut antara lain adalah memulihkan kualitas tempat pemijahan ikan, mendukung kualitas kawasan konservasi, serta mitigasi risiko atas lingkungan di sekitar bangunan dan infrastruktur kelautan.

Sementara, Dr Yonvitner, Kepala Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Laut (PKSPL) IPB University mengemukakan bahwa kelahiran PP ini masih sangat prematur, sehingga diperlukan kajian-kajian mendalam sebelum diimplementasikan di lapangan.

“Argumentasi yang telah disampaikan terkait penanganan sedimentasi laut akan menyehatkan ekosistem, justru jika ditinjau dari konsep pengelolaan ekosistem, peran ekosistem-lah yang kemudian membuat sedimentasi seperti perakaran mangrove dan lamun,”.

Ia juga menjelaskan bahwa penggunaan kapal isap sebagai sarana pembersihan hasil sedimentasi laut juga kontradiktif. Ia mewanti-wanti potensi risiko jika PP 26/2023 ini diterapkan seperti risiko ekonomi, risiko ekologi, biofisik, sosial, sarana-prasarana dan risiko kebijakan.

“Jangan sampai ingin dapat 1 rupiah dari hasil sedimentasi laut, tapi kita sesungguhnya keluar 5 rupiah untuk biaya pemulihan ekosistem dan lingkungan, sebagaimana kajian PKSPL IPB University tahun 2003 terkait penambangan pasir laut,” ujarnya.

“Sebaiknya implementasi PP 26/2023 ditunda. Namun bila mendesak dan dibutuhkan untuk target kinerja kita, maka kita harus bergerak cepat. Kedudukan PP dalam kebijakan nasional harus diluruskan dan kajian teknis untuk naskah akademis dan uji kelayakan publik harus dilakukan,” lanjut Dr Yonvitner memberi rekomendasi.

Dr Alfian Helmi, Asisten Direktur Bidang Kajian Strategis, DKSRA IPB University pada diskusi kali ini menekankan bahwa perlu didetailkan lebih lanjut mekanisme pengawasan dan kajian dampak dari penambangan hasil sedimentasi laut, prinsip kehati-hatian dan keberlanjutan harus menjadi prioritas utama dalam implementasi kebijakan ini. (NZR-DKSRA/Rz)