Prof Harianto Kenalkan Dampak Perubahan Sistem Agribisnis Terhadap Peningkatan Kesenjangan Ekonomi Rumah Tangga Pertanian dengan Non-Pertanian

Prof Harianto Kenalkan Dampak Perubahan Sistem Agribisnis Terhadap Peningkatan Kesenjangan Ekonomi Rumah Tangga Pertanian dengan Non-Pertanian

prof-harianto-kenalkan-dampak-perubahan-sistem-agribisnis-terhadap-peningkatan-kesenjangan-ekonomi-rumah-tangga-pertanian-dengan-non-pertanian-news
Riset

Dalam Konferensi Pers Pra Orasi Ilmiah Guru Besar yang digelar secara online (25/5), Guru Besar Ekonomi Pertanian dan Agribisnis IPB University, Prof Harianto menjelaskan bahwa pembangunan ekonomi telah membawa perubahan terhadap struktur perekonomian dan struktur sistem agribisnis di Indonesia. Peran sektor pertanian dalam menyumbang produk domestik bruto semakin turun.

“Pada saat ini peran pertanian sekitar 13,3 persen dari 24,1 persen di tahun 1983. Fenomena ini tampaknya juga diikuti oleh perubahan struktur di sistem agribisnis yang terdiri dari tiga subsistem yaitu, hulu, on-farm (usaha tani) dan hilir dalam penciptaan nilai tambah dalam perekonomian,” ujarnya.

Namun dari sisi penyediaan tenaga kerja, lanjutnya, penyediaan bahan baku, penguatan ketahanan pangan dan pengurangan kemiskinan, sektor pertanian maupun subsistem agribisnis usahatani tetap memegang peran penting.

“Pembangunan ekonomi dan perubahan struktur yang menyertainya, telah menjadikan ketimpangan pendapatan dan kesejahteraan rumah tangga semakin melebar. Ketimpangan yang semakin melebar dapat memunculkan ketidakadilan,” tuturnya.

Ia mengatakan, rumah tangga yang berada di golongan pendapatan terbawah semakin kesulitan untuk dapat mengakses sumber-sumber ekonomi yang dapat meningkatkan kesejahteraannya. Kesenjangan pendapatan di Indonesia masih relatif tinggi.

“Berdasarkan data yang disampaikan dalam World Inequality Report tahun 2022, pangsa total pendapatan 10 persen penduduk golongan pendapatan tertinggi adalah sebesar 48 persen dari pendapatan total nasional. Sementara 50 persen penduduk golongan terendah hanya menguasai 12,4 persen dari total pendapatan nasional,” tandasnya.

Pada tahun 2021, rata-rata pendapatan penduduk golongan 50 persen terbawah adalah sebesar Rp 22,6 juta per tahun dan 10 persen penduduk golongan teratas memperoleh pendapatan sebesar Rp 285 juta lebih per tahun, atau sekitar 13 kalinya.

“Ketimpangan ini bisa menjadi indikasi bahwa adanya keterbatasan akses-akses produktif dan segmen-segmen tertentu. Ketimpangan pun bisa menjadi indikasi adanya pemusatan kekuatan ekonomi yang berdampak pada pengambilan keputusan,” katanya.

Selain itu, Prof Harianto menyebutkan bahwa ketimpangan bisa menjadi penyebab melemahnya resiliensi daya tahan perekonomian. Berbicara ketimpangan seseorang akan membagi dari sudut pandang seperti ketimpangan hasil yang dapat diukur dengan pendapatan, kekayaan atau pengeluaran atau ketimpangan peluang yang dikaitkan dengan perbedaan dalam keadaan di luar kendali individu, seperti jenis kelamin, etnis, lokasi lahir atau latar belakang keluarga.

“Kesimpulan dari semuanya adalah perubahan-perubahan internal maupun eksternal yang terjadi di sistem agribisnis dapat meningkatkan kesenjangan pendapatan atau kesejahteraan di antara para pelaku usaha di dalam sistem agribisnis. Kesenjangan pendapatan atau kesejahteraan rumah tangga pertanian dan rumah tangga non-pertanian diperkirakan terus semakin melebar,” tutup Prof Harianto. (Ns)