Prof Hefni Effendi Paparkan Konsep Dampak PLTA terhadap Lingkungan Akuatik

Prof Hefni Effendi Paparkan Konsep Dampak PLTA terhadap Lingkungan Akuatik

prof-hefni-effendi-paparkan-konsep-dampak-plta-terhadap-lingkungan-akuatik-news
Riset

Dalam diskusi yang digelar Pusat Standarisasi Instrumen Kualitas Lingkungan Hidup (PSIKLH), Prof Hefni Effendi, Ketua Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan (MSP), Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) IPB University memberikan paparan terkait konsep dampak Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) terhadap lingkungan akuatik. Pada momen itu, ia mengusulkan pentingnya mengkaji aquatic biodiversity.

“Pentingnya kajian ini mengingat pada pembangunan bendungan akan mengubah ekosistem sungai yang mengalir (lotic) menjadi ekosistem yang relatif tergenang (lentic). Dengan demikian, akan terjadi modifikasi struktur komunitas biota akuatik. Biota akuatik yang preferensi habitatnya perairan tergenang (lacustrine) tentu dapat tumbuh dengan subur,” buka Prof Hefni saat paparannya di Serpong, Banten, beberapa waktu lalu.

Ia melanjutkan, keberadaan ikan-ikan yang beruaya (bermigrasi), baik bermigrasi anadromous (ikan laut yang bermigrasi ke habitat air tawar untuk memijah) maupun katadromous (ikan air tawar yang bermigrasi ke laut untuk memijah) perlu diteliti dengan baik.

“Untuk negeri kita, terdapat ikan sidat yang memijah di laut dalam (deep sea) seperti di Samudera Hindia, Laut Banda dan lainnya. Larva ikan sidat hasil pemijahan yang disebut glass eel, akan beruaya ke hulu sungai untuk menjalani masa dewasanya di sana.

“Dapat dibayangkan jika sungai yang merupakan jalur migrasi ikan sidat ini dibendung untuk kepentingan PLTA, maka niscaya ikan Sidat akan berangsur-angsur terganggu siklus reproduksinya. Tak menutup kemungkinan bisa akan mengalami kepunahan,” ia menambahkan.

Menurut Prof Hefni, salah satu upaya pengelolaan yang diintroduksi dalam mengatasi terhalangnya migrasi ikan sidat adalah dengan pembuatan fishway di sela-sela bendungan. 

Aplikasi fishway dalam bentuk fish ladder telah lama diterapkan di sejumlah bendungan di negeri beriklim 4 seperti Eropa Barat dan Amerika Utara. Di wilayah ini, terdapat populasi ikan salmon yang bermigrasi ke hulu sungai untuk memijah (bertelur) dan dewasanya di laut, kebalikan dari siklus reproduksi ikan sidat. 

“Oleh karena itu, perikanan sidat tetap berkesinambungan dan lestari. Pasalnya, masyarakat di sana tidak akan mengganggu ikan sidat yang sedang bermigrasi, walaupun dengan mudahnya ditangkap, khususnya ketika ikan sidat melewati sungai dangkal,” ujarnya. 

Prof Hefni menegaskan, sebagai departemen yang adaptif terhadap permasalahan ekosistem akuatik dan dalam rangka tingkatkan reputasi global, Departemen MSP IPB University telah menjalin kolaborasi dengan Charles Sturt University, Australia dalam melakukan kajian fishway di sejumlah wilayah Indonesia. 

Pada diskusi ini, tak hanya dielaborasi dampak terhadap lingkungan akuatik, tetapi juga pengaruh terhadap lingkungan sekitar pembangunan dan pengoperasian PLTA berbasis bendungan. Lingkungan sekitar tersebut mencakup lingkungan terestrial dan akuatik dalam lingkup spektrum yang luas seperti aspek fisik, kimia, biologi, sosial ekonomi-budaya serta kesehatan masyarakat dan lingkungan.

Mursalin, MSi yang merupakan staf peneliti pada SUA Laboratorium Proling, Departemen MSP IPB University ikut membahas konsep dampak pembangunan dan operasional pelabuhan terhadap lingkungan.

Pembuatan konsep dampak PLTA ini merupakan bagian dari upaya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk menyusun standar spesifik dampak terhadap lingkungan dari beberapa kegiatan projek yang sering dilakukan pembangunannya di Indonesia. (HEF/Rz).