Laut Diserbu Sampah Plastik, Prof Hefni Effendi: KKP Perlu Buat Regulasi

Laut Diserbu Sampah Plastik, Prof Hefni Effendi: KKP Perlu Buat Regulasi

laut-diserbu-sampah-plastik-prof-hefni-effendi-kkp-perlu-buat-regulasi-news
Riset

Di seluruh dunia, satu juta botol plastik dibeli setiap menit. Lima triliun kantong plastik digunakan di seluruh dunia setiap tahun. Secara total, setengah dari semua plastik yang diproduksi dirancang untuk sekali pakai (digunakan hanya sekali, kemudian dibuang). 

Hal itu terungkap dalam ‘Diskusi Interaktif Dukungan Hukum dalam Pencapaian Program Prioritas Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) sebagai Penggerak Percepatan Pembangunan Sektor Kelautan dan Perikanan yang Berkelanjutan’, beberapa waktu lalu. Hadir dalam forum ini, Ketua Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan (MSP), Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) IPB University, Prof Hefni Effendi.

“Berdasarkan United Nations Environment Programme (UNEP) dan The World Counts, saat ini, kita menghasilkan sekitar 400 juta ton sampah plastik setiap tahun,” ujar Prof Hefni.

Guru Besar IPB University itu menambahkan, adanya Great Pacific Garbage Patch yang mengapung di bagian utara Samudera Pasifik, yang beratnya mencapai 7 juta ton dengan luas sekitar dua kali ukuran luas negara bagian Texas, mencengangkan dunia untuk memerangi pelepasan plastik ke lingkungan terestrial dan laut. 

“Diperkirakan 80 persen plastik berasal dari daratan, mengambang di sungai dan terbawa arus ke laut. Sebanyak 20 persen plastik berasal dari anjungan minyak dan kapal. Penelitian ilmiah dari Scripps Institution of Oceanography di California, Amerika Serikat (AS) menunjukkan bahwa 5 hingga 10 persen ikan mengandung potongan-potongan kecil plastik,” ungkapnya.

Bagaimana halnya dengan di Indonesia? Prof Hefni mentuturkan, mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS), sampah plastik di Indonesia mencapai 64 juta ton per tahun. Sebanyak 3,2 juta ton di antaranya merupakan sampah plastik yang dibuang ke laut. Sekitar 60 – 90 persen dari sampah yang tercecer di laut adalah sampah plastik, utamanya sedotan plastik, minuman gelas dan kantong plastik.

“Di gunung, hutan, pedesaan, perkotaan dan di laut, kita diserbu oleh sampah plastik yang tak terkendali. Banyak laporan dari media massa yang menyebutkan bahwa ekosistem mangrove rusak tak hanya karena alih fungsi, tapi karena regenerasi tumbuhan mangrove terhalang oleh serbuan sampah plastik,” paparnya.

Ia mengurai, pemerintah Indonesia telah memformulasikan sejumlah kebijakan penanganan sampah plastik. Seperti pengurangan 70 persen sampah plastik di laut, misalnya. Hal ini menjadi program kerja yang diwujudkan melalui dokumen Rencana Aksi Nasional (RAN) Penanganan Sampah Plastik Laut Tahun 2018-2025, Peraturan Presiden No 83 tahun 2018 tentang Pengelolaan Sampah Laut serta Keputusan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman No 69 Tahun 2019 tentang Tim Pelaksana Rencana Aksi Nasional Penanganan Sampah Laut. 

“Namun demikian peraturan yang lebih teknis tentang penanganan sampah plastik di laut belum ada. Oleh karena itu, regulasi tentang penanganan sampah plastik dan sampah lainnya di laut perlu segera dirumuskan dengan pelibatan sejumlah pemangku kepentingan,” tegas Prof Hefni.

Pemangku kepentingan yang ia maksud mencakup pemerintahan, industri plastik, pelaku usaha yang berbasis di pesisir dan laut, komunitas nelayan, perhubungan laut, akademisi, lembaga swadaya masyarakat dan lainnya. 

“Dengan demikian, aspek-aspek yang akan diregulasi akan lebih komprehensif. Apalagi ternyata sumber pencemaran plastik justru berasal dari terestrial yang lebih banyak,” usul Prof Hefni Effendi. 

Selain itu, masifnya permasalahan sampah plastik ini, UNEP akan membuat rancangan perjanjian global yang mengikat secara hukum pada akhir tahun 2024. Prof Hefni berharap, darinya akan hadir instrumen yang mengikat secara hukum, yang akan mencerminkan beragam alternatif penanganan plastik.

“Rancangan treaty tersebut secara makro akan mencakup siklus hidup penuh plastik, desain produk dan bahan yang dapat digunakan kembali dan didaur ulang, serta perlunya peningkatan kerjasama internasional untuk memfasilitasi akses ke teknologi, pembangunan kapasitas dan kerjasama ilmiah dan teknis,” tambahnya. (HEF/Rz)