Islam dan Kerangka Etik Perubahan Sosial

Islam dan Kerangka Etik Perubahan Sosial

rektor-ipb-menggunakan-kopiah
Rector Insight

Kini yang perlu kita pikirkan adalah bagaimana bentuk syukur nikmat di tengah perubahan disruptif yang terjadi akhir-akhir ini, yaitu perubahan iklim, revolusi industri 4.0, Pandemi Covid-19, dan konflik Rusia-Ukraina. Perubahan disruptif tersebut telah membawa kita pada kehidupan yang penuh ketidakpastian sehingga memerlukan cara berpikir baru, cara belajar baru, dan cara bekerja baru. Bagaimana Islam mengajarkan kepada kita untuk menghadapi dinamika perubahan seperti itu?

Pesan Perubahan

Allah  berfirman: “Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri” (QS Ara’d:11).  Menurut Tafsir Al-Misbah, ayat tersebut berbicara tentang perubahan apapun, bisa dari nikmat menjadi niqmat (murka) dan sebaliknya dari negatif menjadi positif. Atas ayat-ayat tersebut, Tafsir Al-Misbah menjelaskan sebagai berikut. Pertama,  ayat tersebut berbicara tentang perubahan sosial, bukan individu. Meski inisiatif perubahan bisa berasal dari individu yang berdampak secara sosial. Kedua, penggunaan kata qaum menunjukkan bahwa hukum sosial ini berlaku universal tidak peduli suku, ras dan agama dimanapun dan kapan pun mereka berada. Ketiga, perubahan yang dilakukan Allah bermula dari perubahan yang dilakukan manusia. Manusia memiliki nilai, tekad dan kemauan keras, dan kemampuan yang menghasilkan aktivitas yang berdampak secara sosial.

Terhadap perubahan tersebut, setidaknya ada 4 pilihan peran kita, yaitu (a) pemimpin perubahan, (b) pengikut perubahan, (c) penonton perubahan, atau (d) penentang perubahan. Bila kita menginginkan kemajuan dalam kendali kita, maka tidak ada pilihan lain kecuali menjadi pemimpin perubahan. Rasulullah dan seluruh Nabi telah memberi contoh menjadi pemimpin perubahan karena diturunkan ke dalam masyarakat yang bermasalah untuk membawa perubahan.

Namun demikian pemimpin perubahan bukanlah sebuah posisi, melainkan mentalitas keteladanan untuk selalu berinovasi yang berdampak positif pada terjadinya perubahan sosial. Perubahan sosial bersifat multi skala, yaitu mikro, meso, dan makro. Karena itu semua orang bisa menjadi pemimpin perubahan pada tingkatan dan skala masing-masing. Perubahan bisa dilakukan pada tingkatan keluarga, kelompok, organisasi, masyarakat, baik pada tingkat lokal maupun global. Lalu, apa saja yang diperlukan untuk menjalankan misi perubahan sosial tersebut? Ada 4 hal penting yang bisa menjadi kerangka etik untuk perubahan sosial.

Menciptakan Legacy

Komitmen dan tekad kuat (will power) inilah yang oleh Ibnu Taimiyah sebagai iradah yang merupakan pendorong aktivitas manusia. Iradah yang disertai kemampuan baik akan menghasilkan aktivitas yang baik pula. Tentu aktivitas yang baik adalah yang menghasilkan karya baik yang berdampak pada perubahan sehingga menjadi sebuah legacy.   Allah berfirman:  “Kamilah yang mencatat apa yang telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka (tinggalkan). Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab yang jelas” (QS Yasin:12)

Dalam Tafsir Ibnu Katsir dijelaskan bahwa Allah akan mencatat semua amal perbuatan yang telah mereka kerjakan dan jejak-jejak mereka yang dijadikan teladan setelah mereka tiada. Keteladanan merupakan kata kunci bahwa karya kita dijaga, diteruskan, dan dikembangkan lebih jauh sehingga manfaat dari karya kita memberikan multiplier effect yang besar pada kemaslahatan.  Bayangkan kalau semua orang berkomitmen meninggalkan legacy berupa karya yang berkualitas dan bermanfaat maka akan membawa perubahan. Amal jariyah dan ilmu bermanfaat adalah representasi legacy yang tangible dan intangible yang bisa membawa perubahan sebagaimana sabda Nabi, “Apabila anak Adam meninggal maka amalannya terputus kecuali tiga perkara: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak sholeh yang mendoakan kedua orang tuanya” (HR Muslim).

Jadi, komitmen untuk selalu membuat legacy sejalan dengan hadits Nabi, “sebaik-baik manusia adalah yang memberi manfaat untuk orang lain”. Legacy adalah manfaat yang berdampak ke umat dan publik. Oleh karena itu membawa manfaat harus dimaknai sebagai legacy yang berdampak pada perubahan masyarakat ke arah lebih baik. Dengan demikian, membawa manfaat tidaklah sekedar membawa manfaat biasa, namun harus membawa manfaat yang impactful, berdimensi luas, berjangka panjang, serta sustainable.

Orientasi kebaruan dan future practice

Di tengah kompetisi global seperti sekarang ini maka legacy yang baik adalah yang antisipatif terhadap masa depan. Karena itulah kita harus hadir dengan karya-karya baru yang bersifat future practice. Orientasi pada kebaruan dan future practice inilah yang membuat kita punya mentalitas sebagai pencipta.

Wujud kongkrit dari ciri kita sebagai pencipta ini adalah hadirnya inovasi-inovasi, baik inovasi teknologi maupun inovasi sosial. Sudah menjadi rahasia umum bahwa negara menjadi maju secara ekonomi bila memiliki skor Global Innovation Index yang tinggi. Artinya masyarakat di negara maju memiliki mentalitas sebagai pencipta yang berorientasi future practice. Bangsa Indonesia akan semakin maju bila masyarakat kita juga punya mentalitas pencipta.

Mentalitas pencipta ini adalah merupakan internalisasi dari salah satu sifat Allah Swt dalam Asmaul Husna, yaitu Al-Badii’. Menurut Syafii Antonio Al Khalik dan Al Badii’ sama-sama berarti pencipta. Al Khalik adalah pencipta atas ciptaan yang sudah ada, sementara Al-Badii’ adalah pencipta untuk ciptaan baru. Internalisasi atas sifat Allah Swt ini sangat penting untuk menjadi dorongan kita menghasilkan banyak inovasi baru.

Kerja keras dan Berkualitas

Untuk menciptakan legacy yang membawa manfaat besar dan impactful diperlukan kerja keras dan berkualitas. Hal ini sebenarnya sudah diajarkan dalam QS At-Taubah 105: “Dan Katakanlah: Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang gaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.” (QS At-Taubah: 105).

Kerja keras adalah modal kita untuk sukses. Riset T. Stanley menunjukkan bahwa dalam 100 faktor sukses, maka kerja keras berada di urutan ke-5, lebih tinggi dari sekedar IQ, prestasi sekolah, atau tempat dimana kita sekolah. Apa yang ditemukan Stanley, sama dengan konsep yang ditawarkan Angela Duckworth dalam bukunya GRIT , yaitu bahwa kegigihan yang diiringi dengan passion yang kuat akan menjadi faktor sukses bahkan bisa mengalahkan bakat. Ini membawa optimisme bahwa meski kita kurang berbakat namun bila memiliki kerja keras atau grit maka akan membawa kita kepada kesuksesan.

Kerja keras akan menghasilkan karya besar bila diiringi dengan komitmen pada kualitas. Allah Swt berfirman dalam QS Kahfi: 7, “Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang ada di bumi sebagai perhiasan baginya, untuk Kami menguji mereka, siapakah di antaranya yang terbaik perbuatannya(ahsanu amala)”. Kata ahsanu amala menunjukkan bahwa kualitas kerja akan menentukan karya kita di dunia. Ternyata Allah memilih kata terbaik (ahsanu) daripada terbanyak. Hal ini menunjukkan bahwa kerja yang berkualitas lebih penting dari pada sekedar kuantitas.

Kerja yang berkualitas adalah kerja ikhlas, kerja cerdas, dan kerja berkontinuitas. Kerja ikhlas didasarkan motif intrinsik bahwa hidup matiku hanya untuk Allah swt. Kerja ikhlas juga didasari motif menjadi khoirunnaas, sebaik-baik manusia. Inilah elemen penting dalam kecerdasan spiritual (spiritual intelligence). Motif transendental ini diperlukan untuk mewarnai hati bahwa kerja keras yang berkualitas adalah perintah Allah. Kerja ikhlas akan menjelma dalam passion kerja yang tinggi, yang terbukti membawa kesuksesan.

Sementara itu kerja cerdas didasarkan pada akumulasi pengetahuan yang mendasari bentuk dan model kerja kita agar efektif dan efisien, sehingga kerja cerdas mensyaratkan mentalitas pembelajar. Perintah wahyu pertama adalah iqra. Membaca adalah komponen penting dalam belajar dan belajar adalah komponen penting untuk meraih ilmu pengetahuan.

Di tengah perubahan disruptif sekarang ini maka yang akan survive adalah orang yang memiliki mentalitas sebagai pembelajar. Seorang pembelajar akan bisa memahami perubahan dan sekaligus mampu beradaptasi pada perubahan. Namun di tengah perubahan yang begitu cepat ini maka yang diperlukan adalah mentalitas pembelajar dengan learning agility yang lebih baik.  Itulah mengapa Allah meningkatkan derajat orang-orang yang berilmu (QS. Al-Mujadalah: 11). Tidak lain karena orang-orang yang berilmu inilah yang diharapkan bisa terus menebar rahmat di muka bumi dan mampu merespons perubahan, dan bahkan mampu merancang dan menciptakan perubahan.

Kualitas kerja yang baik tersebut harus dijalankan secara konsisten dan terus menerus. Hidup harus terus bergerak, dan kerja keras harus menjaga kontinuitas. Allah berfirman dalam QS Al-Insyirah Ayat 7, “Maka apabila engkau telah selesai (dari sesuatu urusan), tetaplah bekerja keras (untuk urusan yang lain)”.

Mindset baru

Seorang Manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya” (QS An-Najm: 39). Ini menjadi motivasi untuk terus mengusahakan apa yang menjadi visi, mimpi, dan cita-citanya. Kalau kita kerja keras dan berkualitas maka cita-cita akan dapat diraih. Motivasi yang kuat sangat dipengaruhi mindset yang baik. Hadits Qudsi yang membangun prasangka baik kepada Allah Swt ini menjadi modal untuk semakin optimis:  “Aku sesuai dengan prasangka hamba-Ku. Aku bersamanya apabila ia memohon kepada- Ku.” (HR Muslim).

Terkait mindset ini, Carol Dweck menjelaskan pentingnya kita memiliki Growth mindset. Mindset ini mengajarkan tentang keyakinan bahwa kita bisa mengubah kemampuan, bakat, kebiasaan, dan bahkan IQ. Orang yang memiliki growth mindset ini umumnya optimis, percaya diri, pembelajar, punya grit dan pekerja keras.

Sebaliknya orang yang memiliki fixed mindset percaya bahwa dirinya sulit berubah. Ketika ia menemui kegagalan, maka ia akan berpikir bahwa inilah batas kemampuannya. Sementara itu orang yang memiliki growth mindset kalau pun gagal masih menganggap bahwa kegagalan karena kesalahan strategi dan kesalahan belajar sehingga ia akan belajar dari kegagalannya untuk kembali bangkit. Baginya kegagalan adalah kesempatan untuk semakin tumbuh.

Seorang yang memiliki growth mindset akan selalu mengambil hikmah dari setiap peristiwa. Bahkan dalam QS Al-Insyirah Ayat 5 ditegaskan,” setelah ada kesulitan pasti ada kemudahan“. Dengan growth mindset kita belajar untuk bersikap positif atas kejadian yang kita hadapi. Sikap positif ini akan berdampak pada menguatnya optimisme dalam berbagai hal, dan optimisme adalah modal untuk kemajuan.

Insya Allah dengan tekad kita menciptakan perubahan melalui 4 komitmen besar yaitu (a) komitmen membuat legacy, (b) Orientasi kebaruan dan future practice, (c) komitmen kerja keras dan berkualitas, serta (d) mindset baru, kita akan menjadi khoirunnaas, manusia terbaik yang terus menebar manfaat untuk kemakmuran bumi ini.  Untuk itu semua kita tidak bisa sendiri. Kita harus bersatu, bersinergi, dan berkolaborasi. Idul Fitri bisa menjadi momentum penting untuk memperkuat persatuan kita untuk kepentingan bangsa yan lebih besar.

Bogor, 22 April 2023

Arif Satria

Rektor IPB/Ketua Umum ICMI