PSIKOGA: Layanan Penguatan Psikologi Keluarga Korban Gempa Cianjur

PSIKOGA: Layanan Penguatan Psikologi Keluarga Korban Gempa Cianjur

psikoga-layanan-penguatan-psikologi-keluarga-korban-gempa-cianjur-news
Berita

IPB University melaunching PSIKOGA, sebuah program layanan penguatan psikologis untuk anggota keluarga korban gempa Cianjur. Peluncuran program PSIKOGA berlangsung pada Program Aksi Riset Cianjur yang digelar Direktorat Riset dan Inovasi (DRI) IPB University di Kabupaten Cianjur, (30/3).

Layanan PSIKOGA dilaksanakan oleh 10 orang relawan terlatih yang terdiri dari mahasiswa IPB University dari program sarjana dan pascasarjana. Pelatihan relawan dilaksanakan oleh dosen IPB University dari Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen (IKK), Fakultas Ekologi Manusia (Fema), Dr Melly Latifah, Nur Islamiah MPsi dan tim guru Labschool Pendidikan Karakter.

Layanan PSIKOGA dilaksanakan pada tanggal 12-18 Desember 2022 di Desa Gasol dan Desa Cirumput, Kecamatan Cugenang serta Posko Pengungsian Taman Prawatasari, Cianjur. Kegiatan dilakukan dengan bekerjasama dengan Kementerian Kesehatan RI, Dinas Kesehatan Kabupaten Cianjur, Polmas Kota Bogor dan PT Tirta Pakuan Bogor.

“Bencana alam gempa bumi yang terjadi di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat membawa dampak yang luar biasa terhadap semua aspek kehidupan para korban. Selain menimbulkan masalah fisik dan sosial, gempa bumi juga menyisakan masalah psikologis seperti gangguan stres pasca-trauma, kecemasan, serta masalah kesehatan mental lainnya,” ungkap Dr Tin Herawati, Ketua Layanan PSIKOGA.

Ia menjelaskan, di antara anggota keluarga korban, anak-anak merupakan kelompok yang paling rentan terkena masalah psikologis. Masalah psikologis yang muncul antara lain disebabkan hilangnya kendali atas ketakutan karena getaran gempa bumi secara tiba-tiba, tak terduga dan tak terkendali. Hal itu juga bisa disebabkan akibat cedera fisik dan kehilangan atau kematian anggota keluarga akibat gempa bumi.

“Korban bencana gempa Cianjur ditemukan sebanyak 45,5 persen anak usia prasekolah (dari 33 anak) dan 61,7 persen anak remaja (dari 34 anak remaja) mengalami gejala psikologis agak berat,” ujarnya.

Dr Tin Herawati menuturkan, gejala yang psikologi yang paling banyak dialami adalah trauma. Pasalnya, sebagian besar anak merasakan gempa yang dianggap menakutkan sehingga seolah olah gempa bumi terjadi kembali, merasa gelisah, mudah terkejut, sulit konsentrasi, sulit tidur dan mudah marah.

“Gejala lain yang dialami anak remaja adalah merasa tidak bahagia dan munculnya pikiran negatif terhadap kehidupan di masa akan datang dan merasa tidak ada orang yang dapat dipercaya,” tambahnya.

Selanjutnya, Dr Tin Herawati menyebutkan bahwa kehadiran layanan PSIKOGA dapat mengurangi gejala psikologis yang muncul. “PSIKOGA memberikan layananan permainan edukatif dan kegiatan yang menyenangkan untuk anak. Para relawan juga mendengarkan dan memberikan solusi terhadap permasalahan yang dihadapi keluarga selama di pengungsian melalui proses konseling keluarga.”

Menurutnya, PSIKOGA tidak hanya mengatasi permasalahan psikologis saja. Para relawan juga membantu mendistribusikan obat-obatan, makanan dan hygiene KIT untuk keluarga. Dalam implementasinya, layanan PSIKOGA bekerjasama dengan berbagai pihak terkait untuk mempermudah menangani masalah yang dihadapi keluarga selama di pengungsian.

“Hasil penelitian menunjukkan bahwa masalah psikologis pada usia anak-anak dan remaja yang berkaitan dengan bencana alam akan berlangsung lama setelah insiden bencana. Oleh karena itu, diperlukan adanya pendampingan psikologis berkelanjutan pada anggota keluarga korban bencana gempa di Cianjur,” tandasnya.

Dr Tin menambahkan beberapa rekomendasi lain yang perlu dilakukan, antara lain fasilitas pengungsian yang ramah anak dan keluarga, edukasi kepada para orangtua terkait cara mendampingi anak yang mengalami gangguan psikologis, mempercepat relokasi atau renovasi rumah sehingga keluarga dapat berkumpul pada tempat yang lebih nyaman dan sehat.

“Rekomendasi lainnya adalah mempermudah akses pendidikan untuk anak-anak, mengingat banyak dari mereka yang terhenti sekolah akibat bencana. Selain itu, diperlukan area bermain atau beraktivitas yang menyenangkan untuk anak prasekolah dan remaja sehingga dapat memperbaiki gangguan psikologis yang dialaminya,” tutupnya. (*/Rz)