Tanam Vetiver untuk Cegah Longsor, Ini Kata Dosen IPB University
Sebagai upaya mitigasi bencana terutama bencana longsor, muncul wacana menanam vetiver atau akar wangi di daerah rawan longsor. Namun upaya mitigasi tersebut harus direncanakan secara transdisiplin dan terintegrasi.
Menurut Guru Besar IPB University di bidang Ekologi dan Manajemen Lanskap, Prof Dr Hadi Susilo Arifin, ada banyak tumbuhan yang bisa diusung sebagai tanaman pencegah erosi. Salah satunya adalah tanaman akar wangi (Vetiveria zizanioides) yang dikenal dengan nama populernya sebagai vetiver. Vetiver adalah tanaman yang memiliki akar cukup panjang hingga dua meter ke dalam tanah, sangat efektif mencengkeram tanah sehingga tidak mudah longsor. Tetapi di lain pihak, tanaman ini justru dipanen akarnya untuk bahan baku pembuatan minyak atsiri.
“Oleh karena itu, proses penanamannya harus dibuat zonasi sedemikian rupa sehingga masa pemanenan tidak bersamaan. Selain itu, teknik budidaya tanaman, budaya masyarakat akan tanaman yang akan digunakan, pembangunan kapasitas bagi masyarakat di hulu dan tengah, penyuluhan manfaat sosial, ekonomi dari tanaman yang diusung dan rekayasa teknik dalam budidaya tanaman juga perlu diperhatikan. Sebenarnya solusi yang tepat di wilayah hulu dan tengah untuk mencegah erosi adalah upaya pemberdayaan penanaman vetiver dengan teknik agroforestri,” ujarnya.
Teknik penanaman ini sarat dengan pengetahuan lokal dan kearifan lokal. Sistem tumpang sari vetiver dikombinasikan dengan tegakan pohon. Bisa pohon buah-buahan, tanaman obat atau tanaman penghasil sayur. Vetiver akan menjadi tanaman bawah terutama untuk kawasan dengan kemiringan lereng yang tinggi. Sementara untuk kawasan datar bisa dengan sistem monokultur. Beberapa tegakan pohon yang potensial memproteksi tata tanah, tata air dan bahkan tata udara (penyerap karbon) adalah aren, putat, gayam, saninten, petai dan jengkol juga pala hutan. Pohon-pohon tersebut memiliki potensi ekonomi yang tinggi.
“Terkait dengan kebiasaan dan budaya masyarakat, tanaman yang sudah biasa ditanam masyarakat maka akan mudah untuk dapat diberdayakan dalam pengendalian lingkungan. Tapi jika mereka belum biasa dan atau tidak memiliki budaya menanam komoditas tersebut maka harus dilakukan penyuluhan intensif baik tentang teknik budidaya, aspek pemanenan dan pengolahan pasca panen, agroindustri, pemasaran dan agribisnisnya,” imbuhnya.
Sedangkan untuk rekayasa teknik Prof Hadi menyarankan untuk membuat beberapa perlakuan pada lahan pertanian di hulu dan tengah. Misalnya dengan membuat teras bangku, sengkedan dan guludan. Perlakuan ini juga bisa sekaligus dengan praktek alley cropping yaitu sistem lorong, baik agroforestri kompleks maupun agroforestri sederhana. (**/Zul)