Pakar IPB Menanggapi Masalah Kekeringan Yang Melanda Sektor Pertanian

Pakar IPB Menanggapi Masalah Kekeringan Yang Melanda Sektor Pertanian

pakar-ipb-menanggapi-masalah-kekeringan-yang-melanda-sektor-pertanian-news
Berita

Diskusi Pakar Interdisiplin (DPI) yang diselenggarakan oleh Direktorat Publikasi Ilmiah dan Informasi Strategis IPB membahas tentang solusi mengatasi permasalahan kekeringan yang saat ini sedang melanda, khususnya di sektor pertanian. Meskipun Indonesia memiliki karakteristik humid tropic, namun persoalan kekeringan selalu berulang setiap tahunnya, sehingga perlu menjadi perhatian nasional. Upaya-upaya penanganan dan antisipasi yang lebih sistematis dan terencana perlu dirancang agar permasalahan ini tidak berulang di waktu yang akan datang.

Petani padi sawah merupakan pihak yang sangat merasakan dampak akibat kekeringan ini baik dari segi kuantitas maupun kualitas produksi. Secara kuantitas hasilnya akan berkurang, dan penurunan produksi akan terjadi lebih drastis ketika kekeringan terjadi di awal tanam karena bisa mengakibatkan gagal panen. Sedangkan secara kualitas, kekeringan bisa menyebabkan bobot per seribu bulir menjadi lebih rendah serta butir beras mengapur meningkat.

DPI ini menghadirkan beberapa pakar yaitu Prof. Dr. Muhamad Syukur, Dr. Soeryo Wiyono, Dr. Suria Darma Tarigan dan Dr. Ahmad Junaidi dipimpin oleh Direktur Publikasi Ilmiah dan Informasi Strategis IPB, Dr. Eva Anggraini. Dalam pertemuan para pakar tersebut, telah menghasilkan beberapa rumusan strategis yang sistematis dan terukur yang dapat diimplementasikan dalam jangka pendek, menengah dan jangka panjang.

Langkah Jangka pendek yang harus dilakukan diantaranya, dari aspek kultur teknis yaitu menggunakan pemilihan varietas padi yang adaptif pada kekeringan antara lain INPAGO untuk musim tanam Gadu (Musim tanam kedua pada bulan Maret-April) dan beberapa varietas INPARI yakni varietas genjah atau berumur pendek. Selain itu perlu menjaga bahan organik tanah dengan pupuk organik atau dengan cara pengembalian jerami ke lahan sawah. Penggunaan mickroba penginduksi toleransi kekeringan seperti  mikroba Plant Growth Promoting Rhizobacteria (PGPR) dan meningkatkan water holding capacity atau penggunaan mikroba Cendawan Endofit untuk merangsang pertumbuhan akar sehingga transpirasi dapat ditekan.

Perencanaan pada musim transisi merupakan langkah yang perlu dilakukan pada jangka menengah antara lain dengan pembangunan embung untuk mengatur dan menampung suplai aliran air hujan serta untuk meningkatkan kualitas air. Namun dalam jangka panjang, penataan pengelolaan pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan suatu keharusan untuk meningkatkan resapan air hujan ke dalam tanah. Konservasi mata air melalui berbagai teknik konservasi air (misalnya sumur resapan) serta perbaikan tutupan hutan hulu DAS merupakan langkah-langkah yang perlu dilakukan.

Selain itu diperlukan enabling tools untuk edukasi petani melalui penguatan sistem informasi untuk mendukung keputusan petani dalam melakukan kegiatan produksi. Kerjasama pemerintah, perguruan tinggi dan stakeholder terkait perlu ditingkatkan untuk mensosialisasikan lagi dan terlibat aktif dalam mengoptimalkan beberapa program yang pernah ada atau saat ini masih dijalankan oleh pemerintah, seperti Sekolah lapang Iklim, sosialisasi KATAM (Kalender Tanam) dan Map Growth Index (BMKG). Berbagai program tersebut perlu terus diperkaya dan terus diupdate program dan materinya dengan melibatkan universitas, serta penggunaanya perlu diintegrasikan dengan teknologi informasi sehingga dapat diaplikasikan dengan mudah oleh petani.

Terkait perlunya antisipasi dampak peristiwa El Nino di tahun 2019 ini, khususnya ketika memasuki musim kemarau, sebelumnya pernah dibahas dan disosialisasikan oleh para pakar iklim dan pertanian pada bulan Februari lalu melalui lokakarya “Prospek Perkembangan El Nino 2019: Dampaknya terhadap Anomali Iklim dan Pertanian di Indonesia” yang diselenggarakan oleh IPB bekerjasama dengan PT. East West Indonesia. Salah satu rekomendasi yang disampaikan yaitu tentang pentingnya informasi iklim yang presisi untuk membantu dalam menentukan perencanaan usaha tani yang rentan dipengaruhi oleh berbagai dampak dari anomali iklim. Manfaat informasi prediksi iklim tersebut untuk pertanian sangat besar diantaranya: 1) mengatur pola tanam sesuai dengan ketersediaan air; 2) memilih komoditas dan varietas sesuai dengan prediksi iklim; 3) upaya adaptasi lebih fokus dan tepat lokasi, seperti untuk wilayah yang diprediksi kering dapat menyediakan air melalui sumur pompa, dam parit, embung, longstorage, sedangkan untuk yang diprediksi lebih basah dapat menyiapkan sistem drainase yang baik; 4) menekan kehilangan hasil akibat kekeringan atau serangan OPT.

Pada kesempatan terpisah, Kasubdit Informasi Strategis DPIS yang juga ahli iklim, Dr. Akhmad Faqih, menyampaikan bahwa pada bulan Juli 2019 ini indikator kejadian ENSO dari data suhu permukaan laut di Samudera Pasifik Tropis bagian timur dan tengah menunjukkan kondisi menuju ENSO-netral namun masih dalam kondisi di atas nilai rata-rata. Namun demikian, peringatan tentang El Nino masih diberikan sebagaimana disampaikan pusat prediksi iklim seperti International Research Institute for Climate and Society (IRI) dengan pertimbangan bahwa saat ini masih merupakan periode transisi dari El Nino menuju netral atau normal. Di sisi lain, walaupun menyatakan kondisi saat ini yang sudah netral, lembaga lainnya seperti Badan Meteorology Australia (Australian Bureau of Meteorology, BoM) memperingatkan prediksi kemungkinan akan terjadinya Indian Ocean Dipole (IOD) positif (IOD positif) untuk beberapa bulan ke depan. Mirip seperti El Nino, biasanya kondisi IOD positif juga akan menyebabkan beberapa daerah di Indonesia khususnya di bagian barat seperti beberapa bagian di Sumatera, Jawa dan Kalimantan akan mengalami kekeringan dengan curah hujan lebih sedikit dari kondisi rata-rata normalnya.