Sesak Karena Macet, Mahasiswa IPB Teliti Kebijakan Angkot Modern di Bogor

Sesak Karena Macet, Mahasiswa IPB Teliti Kebijakan Angkot Modern di Bogor

sesak-karena-macet-mahasiswa-ipb-teliti-kebijakan-angkot-modern-di-bogor-news
Riset

Berdasarkan Driver Satisfaction Index, Kota Bogor merupakan kota dengan kenyamanan berkendara terburuk kedua di dunia. Angkutan umum menempati posisi terbanyak kedua setelah kendaraan bermotor sehingga angkot menjadi penyumbang kemacetan di Kota Bogor. Berbagai kebijakan telah dilakukan untuk mengurai kemacetan, baik dengan membangun jalan alternatif, penerapan satu jalur, termasuk kebijakan rerouting angkot modern.

Tiga mahasiswa dari departemen Ekonomi Studi Pembangunan Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB University yang tergabung dalam tim Program Kreativitas Mahasiswa bidang Penelitian Sosial Humaniora (PKM-PSH) melakukan riset terkait cost benefit analysis terhadap kebijakan pengaturan ulang trayek angkot modern dalam upaya mengatasi kemacetan di Bogor. Tim ini terdiri dari Ira Margariti Rachman Putri, Tika Nurhayati, dan Ngilu Mia Andreni Sari yang dibimbing oleh Dr Muhammad Findi, M.E. Penelitian ini dilatarbelakangi oleh rasa penasaran para anggota tim terkait stigma Bogor sebagai “Kota Sejuta Angkot”.

“Kami ingin menghitung baik secara cost maupun benefitnya. Dari hasil perhitungan tersebut akan menunjukkan pengusaha angkot yang bersedia mengkonversi angkotnya menjadi angkot modern memberikan return (keuntungan) bagi pengusaha atau tidak,” sebut Ira ditanya terkait perihal tujuan dari PKM ini.

Pembayaran tarif angkot modern dapat menggunakan elektronic money atau pembayaran non tunai. Laman resmi Pemerintah Kota (Pemkot) Bogor menjelaskan bahwa tujuan dari peluncuran angkot modern selain untuk mengurangi jumlah angkot konvensional juga bertujuan meningkatkan minat masyarakat untuk kembali menggunakan angkot. Kebijakan rerouting yang diterapkan ialah adanya penambahan trayek dari 23 trayek menjadi 30 trayek dan pengonversian angkot modern (3:2), tiga angkot konvensional menjadi dua angkot modern telah menghasilkan 25 unit angkot untuk beroperasi.

Namun, kebijakan ini ternyata belum diketahui secara luas di kalangan masyarakat. Dari hasil kuesioner online yang pernah diedarkan oleh Pemkot Bogor, didapatkan 68,4 persen responden yang belum mengetahui adanya angkot modern. Rerouting angkot hingga saat ini juga belum berjalan dikarenakan kendala di lapangan. Namun, pemerintah masih terus berusaha untuk menjalankan rerouting ini.

Pada awalnya, kebijakan rerouting ini bertujuan untuk memudahkan masyarakat yang berasal dari daerah yang kesulitan mengakses angkot menjadi lebih mudah, namun hingga saat ini rerouting belum kembali berjalan.

“Hal ini dikarenakan, ketika diterapkan beberapa kali, sopir angkot merasa pendapatan yang didapatkan sedikit sehingga uang setoran belum tercapai. Selain itu, kebijakan konversi angkot modern membuat sopir angkot konvensional merasa keberatan karena dianggap sebagai pesaing baru selain menjamurnya transportasi online,” ujarnya.

Fasilitas yang disediakan angkot modern seperti AC, Wifi, pengisi daya (colokan), TV, pintu angkot otomatis, dan pembayaran menggunakan e-money akhirnya tidak berjalan lama. Gesekan yang terjadi antara angkot konvensional dan angkot modern menjadikan operasional angkot ini harus diberhentikan sementara waktu. Pemberhentian angkot modern ini menimbulkan kerugian bagi pengusaha angkot karena pembiayaan konversi angkot sepenuhnya dibebankan kepada pengusaha.

Sehingga delapan unit angkot modern yang sebelumnya dioperasikan di rute Pasar Anyar – Citereup tidak lagi menggunakan beberapa fasilitas yang sebelumnya ada di angkot modern. Seperti CCTV, AC, metode pembayaran kembali tunai, menutup iklan yang ada di badan angkot dan mengganti cat seperti angkot konvensional. Tujuannya agar angkot tersebut dapat beroperasi kembali dan menutupi kerugian pengusaha angkot.

Hasil dari penelitian ini adalah memberikan masukan bagi pemerintah terhadap kebijakan rerouting angkot modern, apakah sudah berjalan efektif atau belum. Selain itu, informasi yang dihasilkan memberi gambaran kepada pengusaha untuk berpikir kembali untuk berinvestasi ke angkot modern atau tidak. Tentunya bagi masyarakat secara umum, informasi ini memberikan pengetahuan sejauh mana kebijakan pemerintah berjalan di lapangan.

“Diharapkan adanya kerjasama yang baik antara pemangku kebijakan dengan pemilik angkot agar kebijakan tersebut dapat meningkatkan pelayanan angkutan massal di wilayah Bogor,” tutup Ira. (FI/Zul)