Pakar IPB: Kami Sudah Punya SOP Tanaman Obat Terpenting di Indonesia

Pakar IPB: Kami Sudah Punya SOP Tanaman Obat Terpenting di Indonesia

pakar-ipb-kami-sudah-punya-sop-tanaman-obat-terpenting-di-indonesia-news
Riset

Tanaman obat merupakan sumber berharga bagi pengobatan manusia baik secara langsung maupun tidak langsung. Tanaman-tanaman tersebut menghasilkan suatu keragaman yang luas terkait senyawa-senyawa kimia yang dapat bermanfaat bagi kehidupan manusia. Hanya saja, tanaman-tanaman obat saat ini masih belum memiliki Standard Operating Procedure (SOP), sehingga memunculkan kemungkinan terjadinya perubahan khasiat tanaman yang digunakan untuk pengobatan penyakit tertentu.

Prof. Dr. Ir. Sandra Arifin Aziz, Guru Besar Tetap Fakultas Pertanian sekaligus pakar ekofisiologi (ilmu tentang respon fisiologis tanaman terhadap lingkungan) tumbuhan dan tanaman-tanaman obat menyampaikan bahwa SOP akan sangat berpengaruh terhadap kadar bahan bioaktif yang terdapat pada tanaman obat. 

“Ini sangat berguna bagi suatu perusahaan jamu atau obat-obatan alami, ketika kadar bahan bioaktifnya berbeda maka jumlah bobot tanaman yang dibutuhkan akan berbeda,” ujarnya.

Hal tersebut yang mendorong peneliti-peneliti Pusat Studi Biofarmaka Tropika IPB dalam hal ini salah satunya Prof. Sandra untuk membuat SOP dalam penanaman beberapa tanaman obat terpenting di Indonesia yang belum banyak dikenal oleh masyarakat. “Produksi bahan bioaktif dapat kita tingkatkan melalui peningkatan biomassa bagian tanaman yang dipanen dan kadar bahan bioaktif dengan memperhatikan ekofisiologi dari tanaman itu sendiri,” imbuh Prof. Sandra.

Beberapa tanaman obat terpenting dan sayuran fungsional di Indonesia yang diteliti ekofisiologinya antara lain adalah jambu biji, daun dewa, krokot belanda/kolesom, pegagan, jintan/bangun-bangun, cabe jawa, kemuning, dan buah kepel. Tanaman-tanaman ini memiliki kekhasan tersendiri sehingga tindakan ekofisiologi yang dilakukan pun berbeda, sehingga membutuhkan standarisasi.

“Standarisasi ini membantu kita dalam melakukan pendekatan produksi untuk pangan fungsional dan bahan baku obat. Contohnya saja seperti pangan fungsional yang tingkat kadar bahan bioaktif harus disesuaikan dengan rasa enak atau kelezatan pangan yang bisa diterima oleh lidah manusia. Bahan bioaktif sering merupakan bahan yang ketika dalam kadar tinggi merusak cita rasanya sebagai bahan pangan. Hal ini berbeda dengan tanaman sebagai bahan baku obat, karena kadar yang tinggi dari bioaktifnya sangat dibutuhkan,” tambah Prof Sandra.(SM/Zul)