Dosen IPB: Potensi Besar Kecipir sebagai Pengganti Kedelai

Dosen IPB: Potensi Besar Kecipir sebagai Pengganti Kedelai

dosen-ipb-potensi-besar-kecipir-sebagai-pengganti-kedelai-news
Riset

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan impor kedelai sepanjang Januari hingga Oktober 2018 telah menembus 2,20 juta ton. Tingginya angka impor kedelai tentunya secara perlahan dapat menyaingi kedelai lokal. Akibatnya, produksi kedelai domestik terus menurun. Data Kementerian Pertanian (Kementan) memperlihatkan, produksi kedelai nasional sendiri terus menurun selama tiga tahun terakhir. Dari 963 ribu ton di 2015, 859 ribu ton di 2016, menjadi hanya 538 ribu ton sepanjang tahun 2018 lalu.

“Sebenarnya, permasalahan pertanian harus diatasi oleh kearifan lokal. Kedelai walau bagaimanapun adalah berasal dari luar negeri. Sehingga wajar jika produksi kedelai di luar negeri tinggi. Akibatnya harga kedelai di luar negeri murah. Salah satu kacang-kacangan pengganti kedelai adalah kecipir yang merupakan tanaman asli Indonesia. Penelitian ini sudah dimulai sejak tahun 70an dan ternyata kecipirlah yang mirip dengan kedelai. Seperti kandungan proteinnya yang bahkan mencapai 30 persen,” terang Prof. Dr. Muhammad Syukur, dosen Institut Pertanian Bogor (IPB) yang memiliki kepakaran khusus pada bidang pemuliaan tanaman hortikultura, salah satunya adalah kecipir.

Kecipir adalah salah satu tanaman tropis Indonesia yang banyak tumbuh di dataran tinggi. Bagi masyarakat Indonesia, tanaman kecipir banyak dikonsumsi sebagai sayuran. Padahal, jika digali lebih dalam, tanaman kecipir memiliki potensi yang lebih besar. Dari akar, daun, buah terutama pada bagian biji kecipir yang dapat diolah menjadi tempe, tahu dan susu kecipir. 

Prof. Syukur menyampaikan bahwa berdasarkan literatur, semua rhizopus (ragi) dapat tumbuh baik ketika menggunakan kacang kecipir sehingga sesuai jika digunakan sebagai bahan baku pembuatan tempe kecipir
 
Awalnya, Prof. Syukur terinspirasi dari peneliti Australia yang datang kepadanya dan berpesan padanya bahwa kecipir sangat potensial untuk dikembangkan. Dan peneliti itu kemudian memberikan beberapa jurnal hasil penelitian yang telah dilakukkannya bersama tim. Hal ini kemudian mendorong Prof. Syukur untuk semakin mendalami kecipir. Prof. Syukur akhirnya mencoba mengawinkan kecipir yang berasal dari Thailand dengan kecipir asli Indonesia sehingga didapatkanlah kecipir yang cepat berbunga, produkstivitas tinggi dan mampu beradaptasi di Bogor.
 
“Berdasarkan literatur, kecipir ini bisa menghasilkan 4,5 ton biji kering per hektar. Lebih besar tiga kali lipat jika dibandingkan dengan produktivitas kedelai yakni 1,5 ton per hektar. Apabila tanaman kecipir dipanen ketika muda maka dapat menghasilkan berat total keseluruhan konsumsi sebesar 35 ton per hektar. Melihat potensi besar pada kecipir, maka penelitian ini harus lebih intensif lagi kami lakukan sebagai pemulia yang sentral bertugas untuk menghasilkan varietas baru yang dapat digunakan oleh petani,” tutupnya. (SM/Zul)