Guru Besar IPB: Tingkat Pencemaran di DAS Citarum Sudah Akut, Biotanya Tidak Aman Dikonsumsi
Sangat kompleksnya kegiatan antropogenik di Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum, membuat DAS Citarum diliputi banyak konflik kepentingan dan membuat Sungai Citarum menjadi sungai terkotor ketiga di dunia. Berdasarkan riset Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) Institut Pertanian Bogor (IPB), Prof. Dr. Etty Riani, mata air Cisanti dan Situ Cisanti yang berada pada titik nol, sudah tercemar oleh logam berat dan bahan organik.
“Sungai Citarum juga menjadi tempat pembuangan limbah industri dan kegiatan lain dengan jumlah yang makin banyak dan makin beragam. Dari Situ Cisanti, masuk ke lokasi industri, terjadi peningkatan bahan toksik dan bahan organik yang cukup signifikan. Pencemaran meningkat terus hingga in let Waduk Saguling. Selanjutnya cenderung menurun ke arah Waduk Cirata dan relatif tetap ke outlet Jatiluhur. Berdasar kedalaman, terlihat bahwa makin dalam waduk, pencemaran dan bahan toksiknya makin meningkat. Di lokasi yang ada Keramba Jaring Apung (KJA), pencemaran dan bahan toksiknya juga cenderung meningkat. Bahkan di KJA, hewan bentos itu menghilang. Kalaupun ada, seperti di Saguling, larvanya banyak yang mengalami kecacatan,” terangnya saat konferensi pers Pra Orasi Ilmiah di Kampus IPB Baranangsiang, Bogor (22/2).
Menurutnya, selain terjadi degradasi (pencemaran) kualitas air dan peningkatan bahan toksik (terutama Cr dan Pb), sedimen Sungai Citarum mulai dari mata air Cisanti hingga outlet Jatiluhur juga telah terkontaminasi logam berat. Di Situ Cisanti dan Majalaya tercemar Cu, Cikapundung tercemar Pb, Hg, Zn dan Cu, di Nanjung tercemar Hg, Zn dan Cu, dan di waduk kaskade umumnya tercemar Fe, Zn dan Cu.
Logam berat dapat masuk ke dalam tubuh ikan melalui permukaan tubuh, insang atau melalui proses makan memakan. Selanjutnya terakumulasi dalam organ tubuh dan bersifat irreversible (tidak dapat lepas). Akibatnya terjadi kerusakan pada organ tubuh seperti insang, ginjal, hati, limpa, otak, jantung. Contohnya pada ikan nila, ikan mas dan biota lain di DAS Citarum. Akumulasi logam berat dan kerusakan organ yang lebih parah terjadi pada ikan barakuda, ikan pepetek, ikan sokang, ikan beloso dan kerang hijau di Teluk Jakarta. Bahan-bahan toksik tersebut juga telah mengakibatkan terjadinya kecacatan pada sironomid di Waduk Saguling dan kerang hijau di Teluk Jakarta.
“Kandungan bahan toksik tersebut juga mengakibatkan ikan tidak aman lagi dikonsumsi secara bebas. Batas maksimum konsumsi daging ikan dari DAS Citarum per minggu bervariasi berdasarkan logam beratnya. Mengkonsumsi daging ikan yang berasal DAS Citarum berisiko munculnya penyakit kanker masih sangat kecil, namun berpotensi memunculkan penyakit degeneratif non kanker,” terangnya.
Prof. Etty merekomendasikan daging dari biota air di Teluk Jakarta yang dapat ditolerir untuk dikonsumsi dalam waktu satu minggu per kilogram per bobot orang dewasa (50 kg) dan anak-anak (15 kg) adalah apabila dilihat dari kandungan Hg-nya, hanya boleh dikonsumsi dalam jumlah yang sangat kecil (0,002-0,043 kg). Bahkan kerang hijau dilihat dari semua logam berat disarankan untuk tidak dikonsumsi. Ikan yang ada di Pulau Seribu walau dagingnya sudah terkontaminasi logam berat namun konsentrasinya sangat kecil sehingga masih relatif aman untuk dikonsumsi. “Oleh karena itu mengkonsumsi daging ikan dari Teluk Jakarta, berpotensi terkena penyakit kanker dan penyakit degeneratif non kanker, “ tambahnya.
Kondisi tingkat pencemaran dan jumlah bahan toksik yang terdapat di Teluk Jakarta, yang merupakan tempat bermuaranya 13 sungai, jumlahnya sangat banyak dan meningkat sangat tajam dari tahun ke tahun. Mengingat Teluk Jakarta bukan hanya mendapatkan bahan pencemar dari darat yang umumnya masuk melalui sungai, namun juga dari kegiatan di perairan yang menyumbang cukup banyak bahan pencemar.
Opsi pengelolaan untuk wilayah tersebut adalah melakukan perencanaan pengelolaan terpadu antara sungai, pesisir dan laut sebagai satu kesatuan yang dikenal dengan Integrated River Basin, Coastal and Ocean Management. Ada tiga keterpaduan yang harus dipertimbangkan yakni keterpaduan ekosistem sungai, pesisir serta laut secara spasial dan temporal, keterpaduan fungsional yaitu keterpaduan antar sektor secara horizontal dalam satu skala administratif, misalnya dalam satu kabupaten dan keterpaduan kebijakan, yaitu keterpaduan lintas administratif misalnya dalam garis vertikal desa-kecamatan-kabupaten atau kota-provinsi-nasional,” imbuhnya.
“Yang paling penting agar pembangunan menjadi berkelanjutan adalah komitmen dan implementasi dari rencana pengelolaan yang sudah dibuat dengan sangat baik dan menjadikan pembangunan berkelanjutan menjadi budaya. Ini dapat memaksimalkan manfaat dan meminimalkan mudhorot dari pembangunan berkelanjutan. Kita akan terhindar dari tuduhan sebagai negara yang kaya sumberdaya alam (SDA), kaya kebijakan, namun miskin komitmen dan implementasi,” tandasnya.(Zul)