Guru Besar IPB: Agar Pangan Cukup, Indonesia Harus Garap Serius Kecenderungan Pangan Milenial
Trend generasi milenial 10-15 tahun mendatang harus segera dicermati. Ternyata generasi milenial memiliki cara yang berbeda dalam memenuhi kebutuhan pangannya. “Anak milenial suka dengan pangan lokal dan etnik. Suka pangan yang bisa mensejahterakan petani dan menyehatkan bumi. Atau untuk istilah sekarang adalah pertanian berkelanjutan,” hal ini disampaikan oleh Prof. Dr. Edi Santosa, Guru Besar Tetap Fakultas Pertanian (Faperta) Institut Pertanian Bogor (IPB) saat konferensi pers Pra Orasi Ilmiah di Kampus IPB Baranangsiang, Bogor (21/2).
Untuk mencapai Indonesia Emas pada tahun 2045 (100 tahun Indonesia merdeka), ada tiga tantangan besar yakni mengurai masalah-masalah klasik pangan dan pertanian (penurunan jumlah petani, keterbatasan lahan, disparitas harga dengan luar negeri dan kesejahteraan petani). Kedua adalah mensiasati sistem di dunia yang cepat berubah mengikuti megatren 2045 dan ketiga adalah kehadiran konsumen milenium.
Menurutnya, salah satu sifat generasi milenial adalah menyukai makanan lokal. Pangan lokal menurut Prof. Edi adalah makanan yang dikonsumsi masyarakat setempat sesuai dengan potensi dan kearifan lokal yang diproduksi di bumi nusantara oleh petani yang dekat dengan konsumen (jaraknya paling jauh 100 mil atau 160 km).
“Sepuluh tahun mendatang, jumlah generasi milenial mencapai 41 persen penduduk Indonesia. Jadi, merekalah aktor pangan kita. Konsumen milenium (yang sejajar dengan arus informasi cepat) ini memiliki sembilan kriteria pangan, menurut Rosenbloom (2018). Yakni jelas identitas, secara visual menarik, mudah dipesan secara online, menyukai produksi lokal, menyelamatkan lingkungan dan menyenangi makanan etnis. Jika kita bisa mengelola isu pangan pada generasi milenial, maka ketersediaan pangan kita akan cukup. Buat stimulus agar ahli pangan dapat menciptakan variasi makanan menarik dari pangan lokal. Teknologi kita memang belum ada,” ujarnya.
Di sisi lain, pangan lokal seperti sagu, sukun, labu parang, gadung, huwi, ganyong, kimpul, iles-iles, suweg, talas dan sorgum sudah mengakar di masyarakat secara sosio kultural dalam budidaya dan pemanfaatan. Diperlukan pengembangan pangan lokal seperti menyiapkan referensi pangan bagi milenial.
“Rujukan anak-anak milenial adalah teman, ibu, website, blog dan media sosial. Berdasarkan riset, ibu muda (usia di bawah 35 tahun) tidak lagi berinteraksi dengan tanaman lokal. Padahal potensi pangan lokal kita sangat besar. Di Aceh, ada 160 ragam pangan yang dibuat dari 123 jenis bahan lokal. Di pulau Sabu, ada 35 jenis tanaman pangan lokal yang dapat diolah menjadi ratusan jenis pangan. Bahkan iles-iles itu sudah dimanfaatkan Jepang sejak jaman Perang Dunia II. Selain itu, umbi iles-iles ternyata mengandung glukomannan. Tepung glukomannan sudah diolah menjadi mie sehat shirataki, menjadi spon organik dan obat pelangsing,” ujarnya.
Prof. Edi menambahkan bahwa sumberdaya genetik pangan lokal ini bisa dibudidayakan dengan sistem tumpangsari sehingga ramah lingkungan. Selain itu ragam seni kuliner merupakan modal penting untuk membangun sistem ketahanan pangan dan pertanian berkelanjutan. (Zul)