Guru Besar IPB Raih Penghargaan LIPI Sarwono Award XVII
Guru Besar Ilmu Atmosfer, Departemen Geofisika dan Meteorologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor (IPB,) Prof. Dr. Daniel Murdiyarso meraih penghargaan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Sarwono Award XVII atas pengabdiannya dalam ilmu pengetahuan, khususnya bidang perubahan iklim dan lingkungan. Pemberian penghargaan ini diserahkan Kamis (23/8) bertepatan dengan Peringatan Ulang Tahun LIPI ke-51 di Auditorium LIPI Jakarta.
Selain Penganugerahan LIPI Sarwono Award XVII juga disampaikan Sarwono Prawirohardjo Memorial Lecture (SML) XVIII oleh Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Republik Indonesia, Basuki Hadimuljono. Anugerah LIPI Sarwono Award yang dirangkai dengan Orasi Ilmiah merupakan kegiatan tahunan LIPI sebagai lembaga keilmuan terkemuka di Indonesia. Penghargaan ini diberikan kepada sosok ilmuwan yang konsisten di bidangnya dan memberikan sumbangan bagi kemajuan baik secara nasional maupun internasional.
"Kerja ilmiah beliau telah berhasil mengubah persepsi dunia tentang perubahan iklim dan menginspirasi kita semua untuk tidak tinggal diam terhadap apa yang terjadi di sekitar lingkungan kita,” ungkap Kepala LIPI, Laksana Tri Handoko.
Prof. Murdiyarso adalah anggota Intergovernmental Panel on Climate Change yang bersama Al Gore mendapatkan Hadiah Nobel Perdamaian 2007. Sebuah momentum penting yang membangkitkan kepedulian masyarakat terkait dengan isu perubahan iklim. Prof. Murdiyarso juga mendapatkan penghargaan Ahmad Bakrie Award pada tahun 2010.
“Kontribusi yang bisa saya berikan yaitu konsisten di bidang perubahan iklim, aktif menjembatani dialog antara ilmuwan dan pengambil kebijakan (science-policy dialog), serta melakukan publikasi di jurnal ilmiah yg memiliki reputasi,” ungkap Prof. Murdiyarso.
Menurut catatan, H-Index Prof. Murdiyarso adalah 31 (versi scopus), 50 (versi google scholar), dan 40 (versi research gate). H-Index menggambarkan jumlah publikasi yang diterbitkan, dibaca dan dirujuk orang lain.
Lebih lanjut Prof. Murdiyarso menjelaskan, ilmu itu harus dikomunikasikan secara dialogis oleh para pengambil kebijakan. Sebab, tanpa dialog, ilmu itu akan kering. Tanpa ilmu, kebijakan akan mudah digoyahkan.
Dalam pidatonya yang berjudul “Jalan Sepi Peneliti”, Profesor kelahiran Cepu, 10 September ini mengatakan, “Kebanyakan peneliti melalui jalan ini, jauh dari hiruk pikuk dunia, hingar-bingar perayaan, popularitas bahkan materi. Jalan sepi dapat membantu kita membedakan antara ketergantungan dan kerjasama yang menghasilkan buah-buah kebaikan dengan dampak yang lebih luas, membekas, dalam kurun waktu yang panjang, " tuturnya.
Prof. Murdiyarso juga merupakan peneliti senior Center for International Forestry Research (CIFOR) yang sejak tahun 2001 telah menghasilkan 122 publikasi ilmiah yang terkait dengan perubahan iklim akibat alih guna lahan, siklus biogeokimia, emisi gas rumahkaca dari konversi lahan basah (hutan rawa gambut dan mangrove) serta kebakaran hutan dan lahan.
Menjadi seorang ilmuwan ternyata bukan cita-cita Prof. Murdiyarso yang sejak kecil dibesarkan di tengah-tengah hutan jati yang kaya dan orang miskin di sekitarnya. Terinspirasi kedua orangtuanya yang konsisten di bidangnya sebagai mantri kesehatan dan perawat di sebuah rumah sakit umum, Daniel Murdiyarso setia pada bidang yang ditekuninya sekarang. “Bagaikan tanaman kacang yang merambat, orangtua saya ibarat lanjaran saya,” ungkapnya. Prof. Daniel berharap bisa selalu bertumpu pada semangat dan energi hidup kedua orangtuanya. “Saya juga sangat beruntung memiliki keluarga yang selalu menjadi oase dalam kering kerontangnya perjalanan ilmiah saya, memberi inspirasi dan semangat agar saya tetap berdiri dan melangkah ke depan,” ujar Peneliti Senior di CIFOR itu.
Berada pada titik dimana dia berdiri saat ini, Guru Besar Ilmu Atmosfer ini menyadari bahwa semuanya dia alami bukan tanpa kesulitan.
“Kesulitan selalu ada, bukan untuk dikeluhkan, karena dengan hanya mengeluh kesulitan tidak serta-merta akan hilang,” tegasnya. Sebagai orang yang dibesarkan dalam kultur Jawa, Prof. Murdiyarso mengalami apa yang diajarkan hidup untuk sumeleh. “Sumeleh bukan pasrah, tapi bentuk kesadaran atau sikap bahwa kita siap menerima hal-hal yang sulit sebagai tanggungjawab dan kepercayaan, bukan sebagai beban. Bersikap demikian memang berat, tapi kalau kita bisa akan meringankan,” tambahnya.
Mengakhiri percakapan, Prof. Murdiyarso berharap bahwa Indonesia yang sudah baik ke depan akan jauh lebih baik lagi serta dapat memimpin dalam berbagai hal dalam pergaulan masyarakat global. (Ath/ris)