Mahasiswa IPB Ciptakan Bioetanol dari Limbah Pembuatan Tepung Tapioka

Mahasiswa IPB Ciptakan Bioetanol dari Limbah Pembuatan Tepung Tapioka

mahasiswa-ipb-ciptakan-bioetanol-dari-limbah-pembuatan-tepung-tapioka-news
Riset

Jumlah pengguna kendaraan yang meningkat di dunia mempengaruhi kebutuhan akan energi yang digunakan. Sebagian besar energi yang digunakan masih bersumber dari fosil, padahal ketersediaan sumberdaya tersebut sangat terbatas dan kurang ramah lingkungan. Guna mengatasi permasalahan tersebut, tiga mahasiswa Institut Pertanian Bogor (IPB) melakukan penelitian berupa formulasi dan uji emisi bioetanol yang memanfaatkan salah satu limbah pabrik yakni tepung tapioka.

Ketiga mahasiswa tersebut adalah Danty Oktiana, Yudha Putra dan Novi Anggita yang menyalurkan penelitian tersebut melalui Program Kreativitas Mahasiswa Bidang Penelitian (PKM PE) 2018. Judul Risetnya adalah “Formulasi dan Uji Emisi Bioetanol Terspesifikasi LCGC (Low Cost Green Car) dari Limbah Pabrik Tepung Tapioka”. Penelitian tersebut dibimbing oleh dosen IPB, Dr. Dimas Andrianto, S.Si., M.Si.

“Dasar pemilihan limbah tepung tapioka karena sejauh ini banyak sekali pabrik pengolahan tepung tapioka yang tutup. Akibatnya pemanfaatan singkong menjadi bahan olahan pun menurun. Padahal kalau pabrik masih mengolah singkong, limbahnya bisa dimanfaatkan untuk produksi bioetanol yang akan meningkatkan produksi singkong, lalu dapat menguntungkan bagi petani dan pabrik tentunya,” jelas Danty selaku Ketua Tim PKM tersebut.

Menurut Danty, bioetanol dari singkong lebih murah daripada Bahan Bakar Mesin (BBM) lainnya. Apabila harga BBM murah, maka bahan pangan yang terjual di pasar juga murah. Selain murah, bahan bioetanol yang berbasis limbah lebih ramah lingkungan dibandingkan sumberdaya non limbah.

“Dibutuhkan tiga kilogram limbah tepung tapioka untuk menghasilkan satu liter bioetanol,” tambah Danty.

Tahapan pembuatan bioetanol tersebut dimulai dengan merebus limbah tepung tapioka untuk menghilangkan bakteri yang ada. Selanjutnya, dilakukan fermentasi pada Saccharomyces selama empat hari dan dilakukan pula uji gula dan uji etanol untuk mengetahui keberhasilan fermentasi. Usai fermentasi, limbah tersebut dilakukan pemurnian atau sering disebut dengan distilasi pada suhu 78 derajat Celcius dan diakhiri dengan adisi atau pencampuran limbah tersebut ke bahan bakar minyak (BBM) jenis premium.

“Harapan dengan adanya penelitian ini, dapat menjadi sugesti positif bagi pemerintah dalam menerapkan regulasi penambahan bioetanol ke BBM jenis premium. Selama ini variasi bahan bioetanol itu banyak, tapi tidak sampai ke masyarakat karena tidak didukung dengan regulasinya,” tutup Danty tentang harapannya. (NIN/Zul)